Scroll ke Atas
Berita Utama

Implementasi Restoratif Justice Dalam Peradilan Pidana Anak di Indonesia

92
×

Implementasi Restoratif Justice Dalam Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Oleh : Diasti Rizki Ramadhani, S.Tr.Pas dari Balai Pemasyarakatan Kelas I Semarang
Pemecahan masalah pada kasus anak adalah hal yang menarik untuk dipelajari. Indonesia sendiri memiliki 33% kasus anak. Menurut data tersebut, kasus – kasus yang ada dapat diselesaikan melalui undang undang sistem peradilan pidana anak (UU No 11 Th 2012) yang berfokus pada perlindungan terhadap hak – hak anak. Narkotika Anak merupakan hal yang dapat merugikan bangsa. Supaya tumbuh dan berkembang dengan baik, serta dilindungi dari diskriminasi dan kekerasan serta dapat memberikan hak dan kebebasannya. Kedudukan anak di depan hukum, mengenai hak dan kewajiban memiliki sifat yang tidak sama dengan orang dewasa. Hal tersebut diatur dalam UU/2012 mengenai sistem peradilan pidana anak. Dalam UU tersebut diatur jika seorang anak memiliki perlindungan khusus terutama pada hukum dan proses peradilan.
Negara adalah pihak yang mengatur asas perlindungan hukum terhadap anak. Melalui sistem peradilan pidana khusus bagi anak yang ditegaskan pada Standar Atuan Minimum PBB yang memiliki tujuan untuk mengutamakan kesejahteraan anak/remaja dan memastikan tiap reaksi pelanggar hukum yang berada di bawah umut akan setimpal dengan kondisi pihak yang melanggar ataupun yang dilanggar. Dalam upaya perlindungan hukum bagi anak, kepentingan yang terkait kesejahteraan diatur juga. Petugas penegak hukum memiliki tanggung jawab terhadap perlindungan anak berkonflik yang mencakup anak korban dan anak saksi. Dalam UU SPPA dijelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana yang melibatkan, pelaku, keluarga korban dan pihak lain yang bersama mencari keadilan bukan balas dendam.
Kegiatan penyelesaian tindak pidana anak dalam penerapan proses diversi dan konsep keadilan restoratif secara legal dan formal dalam UU SPPA, tetppi dalam pasal 108 terjadi permasalahan yang mana memiliki bunyi : UU ini berlaku setelah 2 tahun sejak tanggal diundangkan. Hal tersebut berarti UU tersebut berlaku mulai bulan Juli tahun 2014. Tetu hal ini memeberikan masalah bagi penyelesaian tindak pidana melibatkan anak. Selain kesiapan seluruh aparat penegak hukum, pemahaman masyarakat serta sarana dan prasarana merupakan hal–hal yang mendukung dan tidak dapat dikesampingkan dalam mendukung berlakunya UU ini. Tentu secara langsung atau tak langsung dapat memiliki dampat pada anak. Jika faktor pendukungnya tidak dapat memadai, dilihat dari latar belakang permasalahan tersebut.
Sebagai penerus bangsa, seorang anak harus tumbuh dan berkembang dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai oleh keluarga sehingga kesehatan dan perumbuhannya terlindungi, baik kesehatan fisi maupun mental. Salah satu contoh kegiatan antisosial adalah kenakalan anak yang dapat muncul dari mana saja. Hal tersebut merupakan gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Kenakalan anak sendiri memiliki batas-batas tertentu yang dapat diterima sehingga dianggap wajarm tetapi ada pula yang melampau standar tersebut sehingga tidak dapat ditolerir, yang mana biasanya termasuk pada keterlibatannya pada sebuah tindak pidana.
Pada pertengahan tahun 1970, prinsip keadilan restorati seperti rekonsiliasi antara korban dan pelaku dilakukan oleh aktivis di Amerika Utara dan Eropa yang sebenarnya secara keseluruhan dan belum melalui gerakan reformasi terorganisir. Tidak ada pemikiran bahwa mereka akan memberikan pengaruh dan promosi reformasi sosial dalam pendekatan keadilan yang lebih luas.

Baca Juga :  Panglima TNI Bersama Kepala Staf Angkatan Kunjungi Museum Taruna Abdul Djalil di Magelang

Perkembangan positif tentang keadilan restoratif di beberapa negara, pada kongres PBB tahun 2000 mengenai pencegahan kejahatan membahas mengenai keadilan restoratif di sidang paripurna dalam penyusunan draft proposal untuk prinsip prinsi dasar PBB mengenai penggunakan program keadilan restoratif dalam masalah pidana yang akan berlku untuk semua tingkat proses peradilan pidana restoratif dan memberikan rekomendasi standar dan pedoman untuk melakukan penerapannya. Hal ini kemudian diadopsi oleh PBB pada tahun 2002 yang kemudian diikuti oleh Dewan Eropa dan Uni Eropa yang lebih fokus pada prosedur mediasi keadilan restoratif.
Sejak berlakunya UU SPPA, ABH telah memiliki undang-undang yang secara jelas dan transparan melindungi seluruh proses penyelesaian perkara dari tahap penyidikan sampai tahap penuntutan dan tahap pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan setelah masa pidana selesai. Pendekatan pencegahan kejahatan dilakukan secara integral karena masalah kejahatan adalah masalah kemanusiaan dan masalah sosial. Masalah penanggulangan kejahatan anak menuntut penerapan konsep Diversion and Restorative Justice.
Anak menghadapi hukum umumnya meakukan kegiatan pidana seperti pencurian, pembunuhan, narkoba, penganiayaan hingga kepemilikan senjata tajam. UU no 11 Tahun 2012 mengatur bahwa sistem peradilan pidana anakperlu mengedepankan pendekatan keadilan restoratif yaitu seperti penyidikan dan penuntutan kegiaatn tindak pidana dari, pembinaan dan pengawasan , peradilan, dan pendampingan selama proses implementasi kriminal dari seorang anak. Keadilan Restoratif dapat diimplementasikan dengan ancaman maksimal selama 7 tahun. Kegiatan pencuran yang memiliki dominasi dengan bobot mendominasi pada hal anak yang melawan hukum di Indonesia. Hal tersebut banyak dipengaruhi seperti proses tumbuh kembang, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan dan teman bermain.
Awalnya UU No. 11 Tahun 2012, berbagai macam pihak kurang memahaminnya, baik dari tujuan hu, makna hukum dan pelaknaannya. Bahkan, sebagian masih berpedoman pada hukum yang lama. Tetapi seiring waktu berajalan, kegiatan implementasi UU no 11 tahun 2012 telah berkembang dengan baik dan pesat. Indonesia telah meratifkasikan sejumlah instrumen internasional termasuk di dalamnya adalah Konvensi Hak Anak masalah umum, bahkan telah diakui secara internasional sebagai msalah esensial dalam proses perdilan yang adil.
Pada tahun 2019 dunia dilanda masalah yang sama. COVID-19 melanda seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Virus COVID-19 memaksa semua orang untuk tetap berada di rumah dan tidak berinteraksi dengan orang lain. Akibatnya banyak masyarakat yang pada akhirnya di rumahkan. Karena harus di rumah untuk beberapa bulan, pada akhirnya masyarakat tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dan pada akhirnya mereka harus melakukan Tindakan kriminal untuk bertahan hidup.
Walaupun demikian, Indonesia teteaplah Negara Hukum. Sehingga, meskipun alasan melakukan Tindakan kriminal adalah memenuhi kebutuhan hidup, hukum tetap ditegakkan. Orang-orang yang berbuat kriminal tetap harus dihukum. Oleh karena itu angka kriminal di Indonesia naik sebesar 11,8% dari tahun 2019 (tempo.com). Pada akhirnya banyak masyarakat yang berakhir di Lembaga Permasyarakatan.
Keberadaaan Lembaga Permasyarakatan adalah instansi/Lembaga penegak hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan. Pada Pasal 8 ayat (1) dikatakan bahwa petugas permasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Setiap tugas dan fungsi dari permasyaraktan didasarkan pada peraturan hukum yang telah ditetapkan guna realisasi perlindungan dan pemenuhan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang mengarah pada tujuan resosialisasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan “Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab”.

Baca Juga :  Bupati Pemalang Buka Lomba Ketangkasan Baris Berbaris Di Makodim 0711/Pemalang

Permasyarakatan merupakan sistem pemidanaan yang telah bergerak meninggalkan filosofis retributive (pembalasan), deterrence (penjeraan) dan resosialiasi. Pemidanaan saat ini tidak bertujuan untuk membuat pelaku menderita sebagai bentuk balas dendan, juga tidak bertujuan untuk membuat efek jera dengan merasakan penderitaan serta tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Fungsi dari Permasyarakatan secara filosofis berbeda dengan penjara. Fungsi dari Permasyarakatan adalalah menghindari dari terjadinya proses penghukuman yang tidak manusiawi. Salah satu bentuk dari proses menghindari penghukuman yang tidak manusiawi adalah dengan mencegah terjadinya prisonisasi atau proses belajar kejahatan dan meminimalkan penderitaan dalam pemenjaraan. Menurut Didin Sudirman, adanya hak-hak Narapidana yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah upaya untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya prisonisasi dan stigmatisasi masyarakat.
Salah satu bentuk konsekuensi hukuman oleh pelanggar hukum adalah bentuk kehidupan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Meskipun Permasyarakatan meminimalisir adanya penderitaan yang tidak manusiawi, namun tidak berarti narapidana tidak menghadapi masalah. Banyak permasalahan yang dihadapi narapidan di dalam penjara yang berdampak pada kondisi psikologis mereka. Beberapa penyebab dari masalah psikologis yang dialami oleh narapidana antara lain kehilangan keluarga, kehilangan kontrol diri, kehilangan model, dan kehilangan dukungan. Tembok lapas juga merupakan salah satu penyebab masalah psikologis narapidana karena dengan adanya tembok lapas merenggut kebebasan serta kebebasan untuk bergerak. Narapidana juga akan mengalami kehidupan yang lain dengan kehidupan yang sebelumnya antara lain kehilangan hubungan dengan lawan jenis, kehilangan hak untuk menentukan segala sesuatunya sendiri, kehilangan hak memiliki barang, kehilangan hak mendapat pelayanan dan kehilangan rasa aman. Berbagai permasalahan tersebut merupakan gangguan yang akan mempengaruhi narapidana baik secara fisik maupun psikologis.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pasal 14 ayat 1 butir h yang menyatakan bahwa “Narapidana berhak menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya”. Pelaksanaan kunjungan disini merupakan suatu hal yang berhubungan atas rehabilitasi kondisi kesehatan jiwa para narapidana dengan dampak psikologis dari pemindanaan. Keadaan narapidana yang telah mendapat putusan dari pengadilan dan menjalani sebuah masa pidana di suatu Lembaga Pemasyarakatan terkadang bermacam-macam situasi dan kondisinya akibat pidana yang mereka terima. Hal itulah yang akan dihadapi oleh para petugas pemasyarakatan. Salah satunya yaitu kesehatan mental kejiwaan yang lebih khusus adalah stres yang diderita dan yang melanda para narapidana yang sangat sulit dibaca atau di lihat dari luar secara fisik, karena terkadang terlihat sehat secara lahir namun sakit dalam batin.*
* Diasti Rizki Ramadhani, S.Tr.Pas adalah ASN Kemenkumham – Pembimbing Kemasyarakatan