Scroll ke Atas
Berita Utama

Srikandi SMANCO Berbicara “Peran Perempuan dan Kesetaraan Gender”

137
×

Srikandi SMANCO Berbicara “Peran Perempuan dan Kesetaraan Gender”

Sebarkan artikel ini

 

Dra. Tety Yuliana, M.Pd, Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kab. Brebes.

EMSATUNEWS.CO.ID, JAKARTA — Isu mengenai kesetaraan gender merupakan isu yang cukup klasik dan akan selalu berkembang. Hal demikian terjadi karena era selalu berganti dan berkembang. 

Kesetaraan gender adalah suatu kondisi yang sama, seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh peluang, kesempatan, partisipasi, manfaat dan kontrol dalam melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan. 

Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dukungan terhadap kesetaraan gender memerlukan dorongan dengan aksi nyata dari berbagai sektor. 

Berikut adalah pandangan Srikandi SMANCO dalam Forum Diskusi yang diselenggarakan olehk IKA SMANCO (Ikatan Alumni SMA Negeri Comal)  dan digelar secara daring melalui Zoom dan live Youtube chanel TV IKA SMANCO pada Sabtu, 10 Desember 2022.

Peran Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Pembangunan 

Dra. Tety Yuliana, M.Pd, Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Kab. Brebes mengungkapkan, akibat dari adanya korban pandemi maka dibutuhkan intervensi dari pemerintah agar rumah tangga dapat lebih kuat memenuhi kebutuhannya. Salah satunya dengan pemberdayaan UMKM di mana mayoritas pelaku UMKM adalah perempuan. Contoh aktualnya di Kabupaten Brebes, terdapat wadah UMKM bernama Lapake Mane. 

Intervensi pemerintah dalam mendukung go digital kata, Tety,  dapat diwujudkan melalui penandatangan MoU dengan e-commerce untuk perkembangan UMKM yang memiliki potensi besar. “Hingga saat ini, jumlah UMKM mencapai 103 ribu. Selain itu, dari sektor pendidikan perguruan tinggi, program KKN juga dapat diarahkan pada KKN Tematik agar dapat membantu menurunkan permasalahan seperti kemiskinan, IPM, dan pengangguran,” katanya,  dalam keterangan pers yang dikirim ke redaksi media ini.

Di era emansipasi sekarang perempuan dianggap sebagai kelompok kedua, bukan kelompok prioritas. Hal ini dapat dilihat dari pemangku jabatan di pemerintah yang hanya sedikit dibandingkan laki-laki. Pekerja formal sebagian besar didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan masih di sektor informal. 

Baca Juga :  Bupati Brebes Resmi Buka TMMD Sengkuyung III Cibentang Bantarkawung

“Perempuan bisa menjadi aktor strategis di dalam pembangunan. Tidak hanya pembangunan di desa-desa, tetapi juga pembangunan secara nasional yang dapat mengubah kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera. Menyadari pentingnya peran perempuan dalam pembangunan, pemerintah Indonesia membidik Empat Sektor Utama, yaitu pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan pencegahan kekerasan,” ujarnya.

Kesetaraan Gender dari Sudut Pandang Pendidikan 

Nami Listyawati, S.Pd, M.Si, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Minas, Riau, mengungkapkan keresahannya di mana pada budaya Indonesia saat ini masih terasa sangat kental bagaimana orang tua membedakan perlakuan antara perempuan dengan laki-laki. Tak hanya itu, pada sektor pendidikan juga terdapat perbedaan yang menonjol. Kondisi yang berkembang selalu mengarahkan perempuan dijadikan second human being yang mengakibatkan perempuan selalu berada dibawah superioritas laki-laki dan membawa implikasi luas dalam kehidupan politik, sosial dan budaya di masyarakat.  

Menurut Nami Listyawati, konsep kesetaraan gender menjadi sangat penting di mana perempuan dan laki-laki merupakan mitra yang sejajar. “Contoh nyata di dunia pendidikan misalnya, kinerja sekolah diukur dari rapot pendidikan. Pada rapot pendidikan banyak instrumen yang menyatakan bahwa  perempuan yang berpotensi jangan ditinggalkan. Pada saat sekolah menerapkan kesetaraan gender, maka akan mendapatkan rapot pendidikan yang baik,” kata Nami Listyawati.

Tujuan pendidikan berbasis gender, kata Nami Listyawati , yaitu pendidikan perempuan dengan laki-laki harus seimbang, akses perempuan terhadap pendidikan harus seimbang dengan laki-laki, dan keluarga memberikan kesempatan pada laki-laki dan perempuan dalam pendidikan. Output yang diharapkan adalah perempuan dan laki-laki dapat berada pada sektor domestik dan publik  serta perempuan dan laki-laki secara produktif bisa menghasilkan uang. 

Perempuan dan Politik 

Baca Juga :  Maksimalkan Layanan Informasi Publik, Diskominfo Lakukan Evaluasi PPID

Evi Mafriningsianti, SE, MM, Anggota DPRD Kota Bekasi berpendapat meski pemerintah telah mengamanatkan dalam UU No. 2 Tahun 2008 bahwa perempuan menempati 30% dari pemerintahan, akan tetapi pada aktualnya masih kurang dari ketentuan tersebut. Keterwakilan perempuan di parlemen hanya 15–19,9% dan Indonesia urutan ke-114 (102/560 Anggota DPR). Artinya perwakilan perempuan masih minim. Rendahnya keterlibatan perempuan di politik disebabkan banyak hal, termasuk dukungan keluarga atau hal lainnya yang terkait dengan kondisi spesifik individu. 

“Secara umum hampir semua partai politik meskipun terdapat amanah 30% namun perempuan saat ini masih ditempatkan pada posisi yang kurang strategis. Misalnya, menjadi wakil bendahara dan wakil sekretaris. Maka dari itu, pemerintah harus turut hadir agar dapat intervensi dan memberikan kontrol. Hal ini dapat berguna untuk memahami konteks kepentingan perempuan, karena yang memahami konteks kepentingan perempuan adalah perempuan sendiri,” kata Evi Mafriningsianti.

 

“Pemerintah dan regulasinya harus menjadi pusat kontrol dan mengakomodir kepentingan perempuan dan menempatkan perempuan tidak hanya sebagai pelengkap saja, tetapi juga turut terlibat dalam politik praktis,” imbuhnya.

Legislator itu memaparkan, ada beberapa faktor yang mempunyai pengaruh terhadap tingkat keterwakilan perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dan organisasi partai politik, dan penerimaan kultural. Perempuan harus mengambil peran yang strategis. “Selain itu, terdapat pula kendala kehadiran perempuan dalam politik, diantaranya adalah politik tidak kenal waktu dan menuntut waktu yang banyak, citra negatif dunia politik, memerlukan dana yang besar, keengganan kaum perempuan terlibat dalam politik praktis disebabkan keterbatasan finansial untuk mengimbangi elite politik dari kalangan kaum laki-laki ideologi gender dan nilai budaya, keterlibatan perempuan dalam ranah politik hanya sebatas kelengkapan persyaratan semata, masih rendahnya kesadaran politik perempuan itu sendiri, dan masih terdapat partai politik yang tidak melakukan kaderisasi khususnya bagi perempuan,” pungkasnya.(*/)