EMSATUNEWS.CO.ID, JAKARTA – Problem dari media sosial ini dalam konteks budaya menjadi problem Indonesia, seolah-olah yang kita alami hanya terjadi di Indonesia saja. Ada kecenderungan masokistis dalam hidup kita, kita selalu mengaku Indonesia jelek, dan orang lain bagusan dikit. Tapi sebenarnya hal ini semuanya dialami dengan semua orang, merupakan masalah global bukan hanya terjadi di Indonesia.
Demikian disampaikan Putut Widjanarko, Ph.D., Dosen Paramadina Graduate School of Communication pada Diskusi bertajuk “Antisipasi Pemilu dan Pilpres 2024: Peran Media Sosial yang Belum Beradab” yang diselenggarakan secara hybrid di Universitas Paramadina, Kamis (10/8/2023).
Putut menyatakan bahwa dalam konteks platform, social media memiliki problem yang mendasar, yang disebut oleh beberapa orang sebagai algoritma mobokratis.
“Cenderung mengumpulkan kerumunan karena prinsip platform yang sekarang berlandaskan pada atensi ekonomi, yang memungkinkan berita hoax, bohong, misinformasi seperti misalnya ada berita binatang aneh, yang kurang bermanfaat. Karena attention itu dianut oleh semua melebar dengan cepat dan kemudian menjadi salah satu pendorong hoax,berita bohong dan kemudian hate speech juga bisa melebar dengan cepat.”
“Mengutip Schuler orang bisa lebih bebas, merasa tidak terkekang, dan mengekspresikan diri lebih terbuka sebagai fenomena yang disebut online disinhibition effect (efek tidak terkendali ketika di online).” katanya.
Putut menjelaskan orang akan lebih bebas menyampaikan segala hal jika itu online, dibandingkan di offline itu bisa dua hal seperti ketika senang sama orang tetapi disaat yang sama juga bisa memperburuk atau disebut juga dengan toxic disinhibition effect. Jadi di dalam diri semua orang secara psikologis ada kecenderungan untuk tidak terlalu terkendali ketika berkomunikasi menggunakan platform online.
Lebih lanjut Putut menyatakan bahwa problem berikutnya adalah platform, dalam konteks platform ini atensi kita adalah sebuah sumber daya yang mahal. “Dengan cara apapun supaya orang-orang engage terus menerus kepada platform itu. Platform akan mencari cara sebanyak mungkin agar dapat terus engage dengan platform mereka, saah satunya dengan cara like, share, subscribe dan comment.” ujarnya.
“Comment mana yang akan paling banyak di share, comment mana yang paling banyak di like, tentu saja yang paling kontroversial. Karena apa? Karena kta merasa harus selalu connected, dan harus selalu mengetahui apa yang terjadi saat itu, kalau pro pak Anies akan search pak Anies, kalau pro pak Ganjar atau Prabowo tentu akan sebaliknya,” jelasnya.
Menurut Dosen Universitas Diponegoro, Wijayanto, Ph.D. bahwa Informasi yang benar itu seperti oksigen dalam demokrasi, dikarenakan berdasarkan informasi yang benar itu maka kemudian warga negara mengambil keputusan dalam pemilu, tidak hanya dalam pemilu sebenarnya dalam juga proses proses politik yang lain.
“Kaitannya dengan tahun 2024, sebenarnya koalisi damai sebenarnya sudah menginisiasi. Pada tanggal 22 Juni kita mengundang pemerintah dan juga platform untuk membicarakan apa yang dapat kita lakukan sehingga pemilu tahun 2024 dapat terbebas dari polusi digital, meskipun hal tersebut akan sangat berat dilakukan” bebernya.
Peneliti PPPI, Septa Dinata, M.Si memaparkan bahwa polarisasi ini sangat dimungkinkan dengan cara kerja media digital itu sendiri, dalam politik ini sangat berbahaya karena mereka akan dihinggapi dan diasupi oleh informasi yang homogony, hanya oleh informasi yang mereka suka.
“Yang sangat mengkhawatirkan sebetulnya adalah, adanya global order yang berubah sangat radikal, tapi antisipasinya sangat minim. Mungkin bisa dikatakan sosial space kita saat ini 70%nya berada di ruang digital, dan saat ini dikuasai oleh raksasa2 perusahaan digital yang mempengaruhi bagaimana cara kita berinteraksi saat ini” ujar Septa.
Septa menegaskan bahwa media kita terglobalisasi, memungkinkan berinteraksi antar negara., konsep ruang dan waktu berubah secara drastis, tapi disaat bersamaan kita memelihara naluri purba, tentang identitas.
“Identitas itu bukan semakin lenyap, tapi muncul resistensi bahkan kekhawatiran yang berlebihan dan merasa terancam terhadap kekuatan raksasa ini sehingga menjadi reaktif. Itulah yang terjadi pada politik kita saat ini,” pungkasnya.*