Scroll ke Atas
ArtikelBerita UtamaBudayaDaerahPemalang

Jejak Sejarah Desa Blimbing Dari Mbah Kyai Rawan hingga Penyatuan Tradisi Ruwat Bumi

1070
×

Jejak Sejarah Desa Blimbing Dari Mbah Kyai Rawan hingga Penyatuan Tradisi Ruwat Bumi

Sebarkan artikel ini

Emsatunews.co.id, Pemalang – Keberadaan Desa Blimbing, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah tidak terlepas dari seorang tokoh, yaitu Mbah Kyai Rawan yang memiliki kaitan dengan keberadaan Kabupaten Pemalang.

Adapun keberadaan Kabupaten Pemalang dapat dihubungkan dengan catatan Rijklof Van Goens dan data di dalam buku W. Fruin Mees yang menyatakan bahwa pada tahun 1575 Pemalang merupakan salah satu dari 14 daerah merdeka di Pulau Jawa dengan pimpinan seorang pangeran atau raja. Selanjutnya, Panembahan Senopati dan Panembahan Sedo Krapyak dari Mataram menaklukan daerah-daerah tersebut, termasuk di dalamnya Pemalang dan Cirebon. Cirebon ditaklukan oleh Mataram Islam pada tahun 1640 M hingga 1650 M ketika berada di bawah pimpinan Panembahan Ratu II. Pada tahun 1640 M Panembahan Ratu II atau Pangeran Adipati Anom sebagai Susuhunan Cirebon beserta kedua putranya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya, diboyong ke Mataram (Girilaya). Kemudian yang dicalonkan untuk mewakili kedudukan Panembahan Ratu II di Kerajaan Cirebon ialah Pangeran Wangsakerta. Sebelum Pangeran Wangsakerta resmi mewakili kedudukan Panembahan Ratu (Pangeran Agung) di Kerajaan Carbon (Cirebon), untuk sementara waktu kedudukannya dijabat seorang chareteker (karteker) dari Kerajaan Mataram Islam, yaitu Raden Suromenggolo dengan pangkat Tumenggung pada tahun 1640 M.

 

Nama asli Pangeran Wangsakerta adalah Pangeran Kertawijaya, yang mana penggantian nama menjadi “Wangsa” dilakukan oleh Sultan Agung karena Pangeran Kertawijaya bergabung dengan wangsa Mataram Islam. Setelah resmi mewakili kedudukan ayahandanya, Pangeran Wangsakerta mendapat gelar Pangeran Adipati Anom sebagai Susuhunan Cirebon.

Adapun nama asli Raden Suromenggolo adalah Raden Hasan putra Raden Mubarok (Kyai Jurang Mangu) dan cucu dari Raden Nur Syah (Kyai Ageng Wonogati) mantan komandan sebagian pasukan Mataram Islam (1628 – 1629 M) yang kemudian menjadi patih di Kadipaten Demak dengan gelar Wonosalam IV. Oleh karena itu, Raden Hasan dan adiknya yang bernama Raden Husain mendapat julukan Suromenggolo. Selama menjadi chareteker di Kesultanan Cirebon, Tumenggung Hasan Suromenggolo dibantu oleh adiknya Raden Husain Suromenggolo. Setelah selesai menjalankan tugas chareteker di Kesultanan Cirebon, kemudian Tumenggung Suromenggolo diangkat menjadi chareteker lagi di Kadipaten Pemalang pada tahun 1641 M sampai menjadi Bupati Kabupaten Pemalang.

Baca Juga :  Puluhan Anggota Kwarcab Pemalang Dapat Bantuan.

 

Dalam menjalankan roda pemerintahan di Pemalang, Tumenggung Suromenggolo dibantu adiknya hingga adiknya mendapat pangkat Tumenggung. Kemudian setelah purna tugas, Raden Suromenggolo bersama dengan 7 orang pengikutnya bermukim di suatu daerah yang pernah dikenalnya, meskipun penduduknya masih sedikit namun dahulu sudah pernah mendapat bimbingan Kyai Jurang Mangu, ayahanda Raden Suromenggolo. Penduduk yang didatangi Raden Suromenggolo sudah mengenalnya sebagai Kyai Rawan, seorang pendakwah, apalagi mantan-mantan begal yang dulu telah dibuatnya taubat. Dalam sarasehan dengan mereka, Kyai Rawan membuka jati dirinya sebagai Raden Suromenggolo mantan Bupati Pemalang dan memperkenalkan 7 orang pengikutnya. Semakin hari semakin akrab dan mudah diajak musyawarah mufakat, maka kemudian perluasan pemukiman dan sawah ladang pun dilakukan dengan membuka hutan sebelah barat dibawah komando Kyai Rawan pada tahun 1644 M.

Setelah layak menjadi perkampungan, maka dijadikan sebagai Kampung Bimbingan, melanjutkan bimbingan Kyai Jurang Mangu (ayahnya yang pernah datang berdakwah) dari didikan Kyai Ageng Wonogati (Wonosalam IV, Patih Kadipaten Demak).

Perluasan area sawah ladang pun terus berlanjut dari barat hingga ke selatan, sampai berlanjut ke sebuah petakan ladang dengan beberapa penduduk selaku penggarapnya yang tinggal di pinggiran hutan. Beberapa penduduknya konon meneruskan penggarapan lahan yang dulunya telah dibuka pertama kali oleh Kyai Wonogati. Ketika sedang melanjutkan pembukaan lahan baru untuk perluasan ladang dan tempat tinggal tersebut, Kyai Rawan tersandung pangkal pohon jarak dan terluka hingga terjatuh yang kemudian mengakibatkan beliau sakit sampai tidak dapat berjalan. Dikarenakan tidak bisa berjalan, akhirnya beliau dibawa dengan tandu dari kain yang bentuknya seperti gendek (semacam wadah tempat tampungan beras). Oleh karena itu, daerah tersebut disebut dengan Dukuh Gendek.

 

Semenjak saat itu, Kyai Rawan jatuh sakit dan tidak lama kemudian wafat pada hari Rabu Wage, 19 April 1678 M (27 Shafar 1089 H). Wafatnya Kyai Rawan bertepatan dengan Rabu Wekasan atau hari Rabu terakhir (Rebo Pungkasan) di bulan Shafar yang mana sebagian masyarakat Kampung Bimbingan melaksanakan ritual tolak bala’. Dengan adanya peristiwa wafatnya Mbah Kyai Rawan pada hari Rabu Pungkasan tersebut, maka ritual tolak bala’ pun kemudian dilaksanakan oleh semua masyarakat Kampung Bimbing (nama yang kemudian dikenal masyarakat) dan juga penduduk Dukuh Gendek.

Baca Juga :  Peringati HUT RI Ke-79, Desa Majalangu Gelar Beragam Kegiatan Dengan Semangat Kebersamaan

Sepeninggal Mbah Kyai Rawan, maka masyarakat Kampung Bimbing dan Dukuh Gendek sepakat untuk menunjuk Ki Mas Johari (anak Kyai Rawan) untuk menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi, Ki Mas Johari yang sudah berkeluarga di Banten dan masih memperdalam ilmu agama Islam, butuh pertimbangan dari pamannya yaitu, Kyai Raden Husain Suromenggolo, mantan Bupati Pemalang yang dulunya menggantikan Bupati Suromenggolo. Selain itu, Ki Mas Johari juga membutuhkan pertimbangan dari sahabatnya yaitu Ki Rinjani, murid Kyai Rawan yang masih meneruskan pendidikan agamanya di Demak. Akhirnya ketiganya berkumpul dan bermusyawarah mufakat dengan kesimpulan bahwa Ki Mas Johari bersedia menjadi Bekel (Lurah) Kampung Bimbing dan Dukuh Gendek selama 2 tahun. Hal ini sama seperti dahulu Ki Sumo ketika mengepalai sekelompok orang pencari buah asam putih (suatu jenis asam jawa bermutu; asem putih) dan membuat rumah singgah sekaligus tempat penampungan di sebagian lokasi hutan yang disebut Karangsempu atas titah Sunan Kalijaga dengan penanda ditanamnya bibit pohon belimbing di sebelah selatan (saat ini Desa Blimbing) dan pohon jati di sebelah utara (saat ini Desa Ampelgading) yang berasal dari Demak Bintoro pada hari Kamis Pahing tanggal 3 Juli 1520 M (5 Rabiul Akhir 926 H).

 

Kesimpulan kedua, setelah 2 tahun menjadi Bekel Ki Mas Johari beserta anak dan istri akan tinggal di Banten dan Ki Rinjani bersedia meneruskan sebagai Bekel, dengan syarat sejak masa Bekel Ki Mas Johari wilayah Kampung Bimbing dan Dukuh Gendek dijadikan satu desa bernama Blimbing. Penyatuan Desa Blimbing ditandai dengan ditanamnya bibit pohon belimbing yang sudah dibawa oleh Ki Rinjani dari Demak. Penamaan Desa Blimbing diberikan agar tidak sama dengan nama Desa Belimbing di Demak. Kedua kesimpulan tersebut kemudian disampaikan kepada masyarakat Kampung Bimbing dan Dukuh Gendek dalam suatu musyawarah bersama dan disetujui bersama pada hari Kamis Pahing, 27 April 1678 M (6 Robi’ul Awal 1089 H).***( Joko Longkeyang )

 

Sumber :

1. Mbah Rabadi ( Anggota DPRD Pemalang F – Golkar )

2. blimbing- Ampelgading.desa.id