Emmsatunews.co.id, Pemalang – Kasus kredit macet senilai Rp12 miliar yang menimpa Bank Perekonomian Rakyat ( BPR) Bank Pemalang ( Perseroda) menjadi sorotan tajam dari kacamata hukum. Praktisi Hukum dan Akademisi, Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, memberikan tanggapan mendalam, menyoroti akar masalah yang ia sebut bukan hanya terletak pada manajemen bank, tetapi juga pada lemahnya pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda) dan DPRD.
Sebagai Perseroan Daerah (Perseroda), BPR Bank Pemalang tunduk pada regulasi BUMD. Dr. Imam Subiyanto mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 65 ayat (2) PP No. 54 Tahun 2017, Kepala Daerah memiliki wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap BUMD. Senada, Pasal 154 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan DPRD memiliki fungsi pengawasan terhadap kebijakan Pemda,”Jika sampai terjadi kredit macet dengan nilai Rp12 miliar, terlebih melibatkan anggota DPRD sendiri, maka jelas fungsi pengawasan Kepala Daerah dan DPRD gagal berjalan,” tegas Dr. Imam Subiyanto. Ia menilai, ini adalah bukti nyata lemahnya political will dalam menjaga keuangan daerah.
Kasus kredit macet jumbo tersebut, menurut Dr. Imam, adalah indikasi kuat adanya pelanggaran terhadap prinsip prudential banking atau prinsip kehati-hatian. Secara hukum, tanggung jawab utama berada di pundak jajaran petinggi bank.
Mengacu pada Pasal 29 ayat (3) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Direksi dan Komisaris bank wajib bertanggung jawab apabila dalam pengelolaan bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. Lebih lanjut, Komisaris BUMD juga wajib mengawasi pengurusan yang dilakukan Direksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 108 PP No. 54 Tahun 2017,”Dengan adanya temuan OJK dan pemberhentian Direktur Utama melalui RUPS, berarti telah terjadi kelalaian struktural. Komisaris pun tidak bisa lepas tangan karena lalai mengawasi jalannya manajemen,” jelasnya.
Dr.( C ). Imam Subiyanto juga mengingatkan pentingnya perlindungan nasabah. Ia menyoroti Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan yang mewajibkan bank menerapkan prinsip kehati-hatian, serta fungsi OJK (UU No. 21 Tahun 2011) yang salah satunya adalah melindungi kepentingan konsumen,”Ketika manajemen lalai, yang dikorbankan bukan hanya uang daerah, tetapi juga nasabah kecil yang selama ini patuh membayar cicilan. Publik bisa kehilangan kepercayaan pada BPR jika tidak ada transparansi,” ujarnya.
Mengenai penanganan kasus, Imam SBY menyarankan agar Keterlibatan Kejaksaan Negeri Pemalang dikaji secara hati-hati. Meskipun Kejaksaan berwenang bertindak sebagai pengacara negara di bidang perdata dan tata usaha negara (Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan), kewenangan ini harus dibedakan secara tegas,”Jika kredit macet murni akibat wanprestasi (cidera janji perdata), penyelesaiannya cukup melalui jalur perdata. Menggunakan Jaksa sebagai ‘debt collector’ justru berpotensi menimbulkan kesan kriminalisasi debitur,” tegasnya, menekankan pentingnya membedakan antara perkara perdata murni dengan perkara fraud (pidana perbankan).
Sebagai penutup, Imam Subiyanto menyampaikan sejumlah rekomendasi kunci bagi Pemda dan manajemen bank : Melakukan audit investigatif menyeluruh atas seluruh kredit bermasalah. Pemda dan DPRD wajib transparan, termasuk mengungkap secara jelas siapa saja debitur besar yang macet. Penegakan hukum harus proporsional: masuk ranah pidana bila terbukti ada fraud, cukup perdata bila sekadar wanprestasi. Perlindungan nasabah kecil harus dijamin agar kepercayaan publik tidak hilang.”Kasus kredit macet Rp12 miliar di BPR Bank Pemalang adalah alarm keras. Ia membuktikan betapa rapuhnya pengawasan daerah dan lemahnya integritas manajemen bank, pemerintah daerah tidak boleh sekadar menyalahkan pengurus lama. DPRD pun tidak boleh menjadi pengawas sekaligus pemain. Yang terpenting, nasabah kecil jangan dikorbankan atas kelalaian manajemen dan lemahnya kontrol pemerintah.”pungkasnya. ( Joko Longkeyang ).