EMSATUNEWS.CO.ID, JAKARTA – Di tengah tekanan dunia internasional dan ancaman walk out oleh beberapa negara anggota G20 sebagai konsekuensi keputusan Indonesia untuk tetap mengundang Vladimir Putin, Indonesia sebagai Presiden G20 diharapkan dapat memposisikan diri sebagai pemimpin yang mampu menginisiasi dialog antara Rusia dan Ukraina. Akan tetapi, Indonesia juga menghadapi tantangan dengan menguatnya rivalitas Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Dalam paparan yang disampaikan pada kuliah umum daring bertajuk, “Kepemimpinan Indonesia di Tengah Rivalitas AS dan Tiongkok dan Proyeksi Tata Dunia Baru“ yang diselenggarakan oleh Departemen Hubungan Internasional Paramadina, Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), Centre for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) dan Centre for International and Diplomacy Studies (CIDS), Andi Wijayanto sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Indonesia menjelaskan bahwa dinamika interaksi antara AS-Tiongkok berjalan sangat dinamis. Namun, titik tegang muncul antara tahun 2018-2019 dengan terjadinya Perang Dagang yang menghantarkan kedua negara ke dalam suasana kompetisi.
“Ada yang beranggapan bahwa sekarang kita masuk Perang Dingin 2.0. Perang Dingin 1.0 Amerika Serikat dengan Uni Soviet dengan faktor ideologi dan blok militer yang sangat keras. sementara Perang Dingin 2.0 aspek ideologi nya cenderung tidak ada, aspek blok militernya juga cenderung tidak ada, tapi kemudian lebih mengarah pada persaingan atau bahkan pertarungan yang berkaitan dengan aspek infrastruktur, aspek perdagangan dan aspek teknologi,“ ujar Andi.
Khusus di kawasan Asia-Pasifik, rivalitas antar kedua negara hadir dalam bentuk persaingan pengaruh yang tercermin dari visi pembangunan arsitektur kawasan. Amerika Serikat bersama Jepang, India, dan Australia menginisiasi Quadrilateral Security Dialogue (QUAD) sebagai forum keamanan, sedangkan Tiongkok dengan Belt and Road Intiviative (BRI) berupaya membangun infrastruktur strategis di wilayah sekaligus mendapatkan akses ke sumberdaya strategis, terutama energi dan pangan.
“Belt and Road Initiative-nya [Tiongkok] pada dasarnya sudah berusaha melakukan proyeksi global terutama untuk membangun koridor-koridor yang memungkinkan Tiongkok memiliki pasar baru,“ tambah Andi.
Selain itu, rivalitas juga terlihat dari dinamika pembangunan Pangkalan Aju di kawasan Asia-Pasifik, dimana Tiongkok mulai mendirikan pangkalan yang awal mulanya lebih didominasi oleh AS.
Melihat persaingan kedua negara dalam memperebutkan posisi geostrategis di kawasan, posisi Indonesia tidak lagi bisa disebut sebagai posisi strategis, tetapi harus diantisipasi sebagai kerawanan.
“Posisi strategis Indonesia kalau kita tidak memiliki kemampuan melakukan proyeksi kekuatannya langsung berubah menjadi kerawanan strategis yang harus kita tutup.” tegas Andi.
Hal tersebut berkaitan dengan posisi Indonesia yang nyatanya masih memiliki kesenjangan dalam hal kapasitas militer. Dalam upaya menyikapi persaingan militer AS dan Tiongkok di kawasan, Andi menekankan pada kondisi Indonesia yang membutuhkan waktu dalam hal modernisasi pertahanan.
Andi juga menjabarkan dua proyeksi pola interaksi Amerika Serikat terhadap Tiongkok yang terbagi dalam skenario persaingan damai dan konflik militer. Yang menjadi kekhawatiran utama adalah jika terjadi decisive battle, yakni perang yang memanfaatkan teknologi dengan daya hancur tinggi.
“Itu yang dikhawatirkan oleh Presiden Jokowi dalam amanatnya 5 Oktober 2020, 75 tahun TNI. Hati-hati dengan karakter perang masa depan yang high level of technology, high level of destruction dan decisive battle,” ujar Andi.
Terkait Presidensi G20, Andi 5menunjukkan optimisme bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina akan berakhir damai sebelum pelaksanaan G20 di Bali.
“Apakah nanti kita harus mengundang Rusia Putin dalam KTT G20, saya sebagai akademisi akan heran, akan sangat sangat heran kalau November 2022 perundingan damai antara Rusia dan Ukraina belum tercapai,“ ujar Andi.
Namun, merujuk pada skenario persaingan damai, kekhawatiran muncul ketika AS menerapkan proteksionisme sebagai akibat dari Perang Dagang dengan Tiongkok. Di tengah kondisi dunia yang sedang mengalami resesi ekonomi sebagai dampak dari pandemi COVID-19 dengan harapan negara-negara besar dapat berupaya untuk mengatasi krisis tersebut, yang terjadi adalah rivalitas ekonomi, khususnya antara AS dengan Tiongkok.
“Kekhawatirannya 3 kata yang menjadi motto dari G20 Presidensi Indonesia; recover, recover together dan recover stronger, jadi recover together dengan stronger salah-salah tiga-tiga nya tidak kejadian itu. Recover nya tidak kejadian, together nya tidak ada, stronger nya juga tidak kejadian,” ungkap Andi.(*)