EMSATUNEWS.CO.ID, SEMARANG – Terjadi fenomena ledakan gelembung atau bubble burst yang saat ini disebut tengah melanda startup perusahaan rintisan (startup) di Indonesia. Bubble burst dapat dimaknai sebagai fenomena terjadi eskalasi atau pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi, terutama pada nilai aset, namun diiringi dengan nilai penurunan yang cepat.
Di tahun 2022 ini, sejumlah perusahaan rintisan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap karyawannya lantaran mengalami ketidakstabilan finansial perusahaan. Jika melihat fenomena yang terjadi, perusahaan rintisan seperti timbul namun tenggelam. Banyak perusahaan rintisan baru yang hadir, namun tidak sedikit yang kelelahan lalu menghilang.
Penyebab perusahaan rintisan di Indonesia mengalami kebangkrutan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, menurut Pakar Ekonomi Bidang Sumber Daya Manusia Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung, (FE Unissula) Semarang, Prof. Olivia Fachrunnisa, SE, M.Si., Ph.D, kondisi ini disebabkan oleh adanya gelombang transaksi penjualan yang berdampak pada turunnya harga di pasar.
“Munculnya startup di tanah air memicu gelombang transaksi penjualan yang luar biasa dari konsumen dan diikuti dengan penawaran harga barang di pasar. Euforia ini berefek menimbulkan turunnya harga. Keuntungan yang sebelumnya meningkat pesat menjadi turun drastis, ditambah lagi muncul inflasi efek dari kenaikan permintaan dari konsumen,” jelas Olivia.
Startegi bakar uang yang dilakukan oleh perusahaan rintisan juga dapat menjadi penyebab dari terjadinya fenomena bubble burst. Uang yang dikeluarkan untuk membangun merek perusahaannya tidak sejalan dengan perkembangan bisnis yang ada. Disisi lain investor sebagai penyuplai dana tidak sabar untuk menunggu keuntungan yang datang, sehingga perusahaan menggunakan sebagian uangnya untuk membayar para investor.
Fenomena bubble burst juga tidak luput dari ketidakmampuan kompetensi sumber daya yang memumpuni dalam perusahaan rintisan. Hal ini juga dapat memicu semakin turunnya nilai bisnis yang baru.
“Modal yang digelontorkan sedemikian banyak dengan usaha yang belum mendapatkan keuntungan, dan mulai ditinggalkan investor karena belum memberikan keuntungan, akan mempercepat turunnya nilai perusahaan startup dan efeknya muncul gelombang baru yaitu downsizing yaitu pengurangan karyawan dengan cepat yang diawal startup muncul merekrut SDM yang banyak” jelasnya.
Fenomena bubble burst tidak boleh semakin melebar, menurut Prof. Olivia Fachrunnisa, solusi yang perlu dilakukan oleh perusahaan rintisan adalah, meningkatkan kompetensi kapabilitas inovasi, kreatifitas dan perilaku individu dalam organisasi, melakukan rebalancing ketika terjadi pergolakan bisnis, dan fokus untuk benefit dalam jangka panjang.
“Potensi startup dalam membangun ekonomi bangsa sangat besar. Tapi perlu adanya peningkatan value dengan meningkatkan financial literacy bagi para investor dan human value literacy bagi para pelaku bisnis, bahwa dibutuhkan SDM yang memiliki value lebih dan kompetensi, tidak saja dalam bidang teknologi maupun organisasi, tetapi lebih tepatnya kemampuan SDM startup untuk memadukan antara finansial, teknologi, dan organisasi secara bersamaan,” pungkas Olivia.(Advertorial)