Scroll ke Atas
Megapolitan

Risiko yang Dihadapi Indonesia dan Upaya Mitigasi

99
×

Risiko yang Dihadapi Indonesia dan Upaya Mitigasi

Sebarkan artikel ini
Wijayanto Samirin – Ekonom Universitas Paramadina dan Stafsus Wapres Bidang Ekonomi (2104-2019).(Photo dok.)

EMSATUNEWS.CO.ID, JAKARTA – Apapun peristiwa yang terjadi di negara atau belahan dunia lain bukan tidak mungkin suatu saat bisa terjadi di Indonesia jika tidak ada langkah antisipasi. Pengalaman bangsa lain harus menjadi perhatian bersama bagi negara Indonesia yang sangat dinamis perkembangannya, yang sebenarnya cukup “fragile”, tapi juga lumayan “strong”.
Demikian disampaikan Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina pada Webinar “Kebangkrutan Ekonomi Srilanka dan Pakistan: Resiko yang dihadapi Indonesia dan Upaya Mitigasi” yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina dan dimoderatori oleh Wendiyanto Saputra, Chief of kumparan BISNIS, Sabtu (23/04).
Menurut Wijayanto krisis Srilanka tak lepas dari kondisi Asia Selatan yang terbilang sangat unik di dunia. “Antara lain pertama, di kawasan yang kecil seperti Srilanka, bermukim 25% penduduk bumi. Kehidupan Politik sangat dinamis dan amat mendominasi. Kedua, kawasan Asia Selatan sarat konflik kepentingan internal dan persaingan politik antar negara-negara Pakistan, Bangladesh dan India sendiri yang pada 1947 merdeka. Pakistan dan Bangladesh memisahkan diri dari India pada 1971,” katanya.
Secara geopolitik dunia, kawasan tersebut menjadi titik strategis dari negara-negara besar Rusia, Amerika Serikat (AS) dan China. Rusia berkepentingan mencari partner negara yang mempunyai akses ke laut hangat, dan AS mencari proxy Pakistan. Untuk mengimbangi pengaruh Rusia di Asia Selatan.
Stafsus Wapres Bidang Ekonomi (2104-2019) yang akrab dipanggil Wija ini juga mengungkapkan bahwa China juga berkepentingan menyukseskan agenda BRI (Belt and Road Initiative) dengan mencari mitra strategis guna mewujudkan agenda BRI melalui fasilitas pinjaman kepada negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Selatan. 
“Agenda BRI berintikan menyukseskan program China untuk menyukseskan ekspor produk-produk China atau import bahan baku yang dibutuhkan dalam negeri/industri China. Kehadiran China sebagai aktor baru di Asia Selatan menjadikan kawasan itu semakin dinamis.” Bebernya. 
Wija menyatakan bahwa hal itu berpengauh, sehingga di Pakistan ada perseterusan AS dan China, di Nepal ada persaingan India dan China. Di Srilanka pun ada perseteruan antara India dan China. Faktor proyek-proyek China/BRI di Srilanka menjadi salah satu faktor yang kemudian membangkrutkan ekonomi Srilanka. Bukan faktor terpenting tapi salah satu faktor pendorong kebangkrutan.
Wija menegaskan bahwa Asia Selatan juga merupakan kawasan supplier buruh migran ke seluruh dunia. Terbesar dari India dan Pakistan baru Bangladesh dan Srilanka.  Banyaknya buruh migran dari Asia Selatan disebabkan oleh terbatasnya resources dari wilayah tersebut yang harus dibagi kepada 1,9 miliar penduduk Asia Selatan. 
“Karenanya, warga mencari resources baru yang lebih besar dan tersedia di belahan dunia lain terutama negara-negara maju dan timur tengah. Banyaknya buruh migran itu juga menjadi transfer devisa penting bagi negara India, Pakistan, Bangladesh, Nepal dan Srilangka.  Yang menarik, ketika terjadi krisis di satu negara Asia Selatan, maka transfer remittance dari buruh migran menjadi membesar. Ada semacam solidaritas dari buruh migran kepada negara-negara bersangkutan ketika mendapat masalah ekonomi,” lanjutnya. 
Kondisi pandemi yang melanda dunia mengakibatkan transfer devisa yang semula cukup membantu bagi keseimbangan ekonomi bagi negara-negara Asia Selatan menjadi drastis menurun. Kucuran dana dari luar negeri terhenti. Hal itu akibat krisis covid 19 yang terjadi merata di seluruh dunia. Bantuan solidaritas dari buruh migran di seluruh dunia kepada Asia Selatan menjadi ikut terhenti.
“Bagi kawasan Asia Selatan yang mempunyai alam indah, turisme menjadi faktor penerimaan penting. Terutama bagi Srilanka yang populasinya 22 juta jiwa dan menerima turis 2,5 juta orang/tahun dalam kondisi normal. Devisa dari turisme tiba-tiba anjlok karena covid 19 dan ketika akan recovery, mendadak terjadi krisis perang Rusia dan Ukraina. Warga Rusia adalah turis nomor satu di Srilanka. Nomor 3 adalah warga Ukraina. Bisa jadi di Rusia banyak muncul orang kaya baru sehingga di manapun di dunia turisme selalu ada warga Rusia,” terangnya. 
“Struktur ekonomi dan kondisi ekonomi Srilanka agak mirip dengan Indonesia sehingga membedah Srilanka amat penting bagi Indonesia sebagai pembelajaran,” ujarnya. 
Wija juga menggarisbawahi bahwa image Srilanka yang kacau dan rusuh, mau tidak mau ikut memperparah situasi. Turisme, investasi, obligasi juga pasti terpengaruh menurun. Recovery Srilanka menjadi terhambat.
Wija menyimpulkan atas apa yang terjadi di Srilanka Pertama, demokrasi yang terdegradasi ada begitu banyak aktivitas anti demokrasi yang dilakukan para politisi Srilanka. Kedua, Akibat demokrasi yang terdegradasi muncul politisi dan pemerintahan yang lalai dan corrupt hasilnya kerap muncul kebijakan yang buruk. Tidak untuk kepentingan rakyat tapi untuk interest kelompok, investor politik, etnis. “Kondisi Srilanka yang seperti itu, merupakan warning bagi Indonesia untuk sekadar mengingatkan jika ada hal-hal yang sama terjadi di Indonesia,” tegasnya. 
“Karena buruknya kebijakan, maka akibatnya fiskal bangkrut dan masyarakat Srilanka sengsara. Utamanya karena dia tidak mempunyai lagi cukup valas untuk membayar utang-utang luar negeri yang dulu dibayar antara lain dengan devisa remittance buruh migran dan investasi, turisme. Berikutnya terjadi lingkaran yang menyengsarakan di Srilanka,” pungkasnya.(*)

Baca Juga :  Kepala Zona Bakamla Timur Resmi Berganti