Scroll ke Atas
Berita Utama

Peran Pemasyarakatan dan Penerapan Restorative Justice System

143
×

Peran Pemasyarakatan dan Penerapan Restorative Justice System

Sebarkan artikel ini

Oleh : Diasti Rizki Ramadhani, S.Tr.Pas.
Saat ini, paradigma pemidanaan diberbagai negara telah bergeser dari pendekatan retributive (criminal justice sistem) yang berfokus pada penghukuman atas pelaku kejahatan yang masih mengedepankan hukuman penjara dalam bentuk pidana dilapas, menjadi pendekatan keadilan restorative ( RJ ) yang menekankan pada pemulihan hubungan antara pihak-pihak yang terkait dalam suatu tindak kejahatan yaitu pelaku, korban, keluarga korban, keluarga pelaku dan masyarakat.
Di Indonesia, pendekatan keadilan restorative ini sudah mulai diterapkan secara resmi dalam penanganan perkara anak melalui UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dan sejak beberapa tahun terakhir, UU SPPA relatif telah sukses dalam menekan angka masuk anak kedalam lapas dan mengoptimalkan angka keluar anak dari dalam lapas. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya jumlah anak didalam LPKA. Sebagai sebuah regulasi, SPPA ini sudah berhasil menyamakan persepsi setiap lembaga penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana terpadu dengan mengedepankan keadilan restorative dalam kasus anak, sehingga berdampak pada terjadinya koordinasi dan kerja sama yang baik antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Sebetulnya, Apakah yang dimaksud dengan RJ?
Di lingkup kepolisian, RJ dijelaskan dalam Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 8 tahun 2021 tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restorative di pasal 1 huruf 3 bahwa RJ adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Sedangkan dalam lingkup kejaksaan, berdasarkan Perja Nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative, yang dimaksud dengan RJ adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban , keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Kemudian dalam lingkup pengadilan, Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restorative menerangkan bahwa RJ adalah alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Selanjutnya bagaimana dengan Pemasyarakatan? Untuk konstek pemasyarakatan sebagai institusi penegak hukum yang bertugas membina, melayani dan membimbing pelaku kejahatan , maka yang dimaksud dengan keadilan restorative adalah pelaksanaan pelayanan, pembinaan dan pembimbingan bagi pelaku kejahatan dengan mengikutsertakan korban, keluarga, masyarakat dan pelaku kejahatan dalam rangka perbaikan diri pelaku serta perlindungan dan pemulihan korban dan masyarakat.
Keadilan restorative dalam proses pemasyarakatan, diterapkan dalam upaya untuk memperkecil arus masuk kedalam Lapas dan memperbesar arus keluar dari dalam Lapas.
Peran pemasyarakatan dalam upaya memperkecil arus masuk bisa diterapkan dalam tahap pra ajudikasi, yaitu dalam bentuk memberikan rekomendasi dalam litmas tersangka dewasa untuk penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Rekomendasi penghentian penyidikan bisa berupa alternatif damai, ganti rugi atau pemenuhan adat. Sedangkan untuk penghentian penuntutan rekomendasi bisa dengan alternatif rehabilitasi atau kesepakatan damai. Dalam tahap ajudikasi, rekomendasi yang diberikan bisa berupa penjatuhan putusan pidana alternatif yaitu berupa pidana bersayarat, pidana pengawasan, pidana peringatan atau pidana denda.
Selanjutnya peran pemasyarakatan dalam upaya memperbesar arus keluar Lapas, diterapkan dalam tahap post ajudikasi. Keadilan restorative dalam proses pemasyarakatan dilaksanakan untuk memastikan bahwa narapidana mempertanggungjawabkan kesalahannya, terjadi pemulihan kondisi korban dan masyarakat dan memulihkan hubungan antara narapidana dengan korban dan masyarakat. Salah satu cara untuk melakukan pemulihan tersebut adalah dengan memberikan program pembinaan bagi narapidana yang melibatkan masyarakat dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang berupa pemberian hak-hak narapidana antara lain remisi, assimilasi, PB, CMB, CB dan CMK. Hal ini tertuang dalam Permenkumham Nomor 3 tahun 2018 yang kemudian diperbaharui dengan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. Selain itu, khusus dalam masa pandemic covid 19, terdapat kebijakan pemberian assimilasi rumah yang diatur dalam Permenkumham Nomor 10 tahun 2020, diperbaharui dengan Permenkumham Nomor 32 tahun 2020 dan terakhir Permenkumham Nomor 24 tahun 2021.
Kebijakan-kebijakan tersebut pada kenyataannya hasilnya belum optimal dan tidak signifikan dalam upaya mengurangi overkapasitas. Karena pengeluaran narapidana untuk asimilasi dan re-integrasi sosial tidak sebanding dengan arus masuk penghuni baru kedalam lapas dan rutan yang tidak dapat terkendali. Oleh karena itu diperlukan sebuah terobosan kebijakan yang dapat mengurangi arus masuk melalui berbagai upaya penghukuman non pemenjaraan dan dapat mengoptimalkan pengurangan beban di Lapas melalui pengurangan narapidana ke fasilitas lain untuk menjalani sisa hukumannya setelah mereka mencapai 1/3 masa pidana. Salah satunya adalah kebijakan yang mengakomodasi keadilan restorative, namum tentunya hal ini tidak boleh diberlakukan kepada narapidana dengan kategori pidana khusus atau kejahatan luar biasa seperti terorisme, pembunuhan, kejahatan HAM, bandar narkoba dan lain-lain.
Secara umum, implikasi yang diharapkan dari keadilan restorative (restorative justice) adalah :

Baca Juga :  Polres Brebes Gelar Apel Ranmor Gina Pastikan Kendaraan Dinas Siap Digunakan Dalam Pelayanan Masyarakat

1. Peran hukum sebagai upaya menyelesaikan konflik tidak diutamakan.

Baca Juga :  Didemo LSM Aksi, Bupati Pemalang Janji Akan Kawal Masalah Korupsi Bansos

2. Upaya mendamaikan antara pelaku dan korban
3. Menghindari pidana penjara sejauh mungkin melalui alternatif pidana penjara
4. Berorientasi pada korban karena penderitaan yang dialaminya
5. Pelaku diharapkan dapat menyadari dan bertanggung jawab atas kesalahannya dan mencegah dilakukannya kembali di masa depan
6. Bagi negara, RJ diharapkan dapat membatasi perkara yang bertumpuk di SPP (system peradilan pidana)
7. Mengurangi over crowding di lapas dan rutan.*
*Penulis adalah ASN Kemenkumham – Pembimbing Kemasyarakatan