“Bagi kami, pegawai adalah aset berharga yang harus tetap dijaga kesejahteraannya, bahkan dalam situasi krisis,” tegasnya.
Setelah masa sulit tersebut, performa KAI justru melesat. Pendapatan meningkat signifikan, dari Rp12,64 triliun pada 2016 menjadi Rp35,9 triliun pada 2024. Laba perusahaan juga mencapai Rp2,2 triliun pada 2024 dengan pertumbuhan kumulatif 9,3%. Sementara itu, EBITDA KAI mencatatkan angka kumulatif 14,5%, salah satu yang terbaik di antara perusahaan BUMN.
“Jika ada pertanyaan mengapa laba tidak melonjak setinggi pendapatan, hal itu karena sebagian besar income tergerus untuk pembayaran utang proyek Kereta Cepat,” jelasnya.
Transformasi KAI juga terlihat dari peningkatan keselamatan dan pelayanan. Jika pada 2015 tercatat 53 kecelakaan kereta, pada 2024 angka itu turun drastis menjadi hanya 8 kejadian. Tingkat kecelakaan kerja pun berkurang hingga hanya 4 kasus dalam setahun.
Di sisi pelayanan, KAI berhasil mencatat on time performance (OTP) yang mendekati standar global, dengan keberangkatan mencapai 99,77% dan kedatangan 96,05%.
“Capaian ini hanya kalah dari Jepang dan Singapura. Jika KAI hanya mengoperasikan kereta cepat, saya yakin ketepatan waktunya bisa mencapai 100%,” tutur Dr. Didiek.
Sejumlah inovasi juga diperkenalkan dalam perjalanan transformasi KAI. Pada masa pandemi, KAI memperbarui logo perusahaan dan menyeragamkan identitas seluruh anak perusahaan, sehingga tercipta satu budaya korporasi yang kuat.
Selain itu, kecepatan kereta berhasil ditingkatkan dari 100 km/jam menjadi 120 km/jam, yang berdampak pada efisiensi rotasi sarana dan peningkatan pendapatan.
KAI juga meluncurkan sistem face recognition untuk tiket pada 2022, bekerja sama dengan Dukcapil, guna memberikan pengalaman perjalanan yang lebih praktis dan aman. Tak ketinggalan, KAI memperkenalkan Kereta Panoramic yang segera menjadi favorit generasi muda, khususnya Gen Z yang gemar bepergian dan mengeksplorasi pengalaman baru.*