Emsatunews.co.id, Semarang — Kebijakan penggunaan sarung batik setiap hari Jumat bagi aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memunculkan respons beragam dari masyarakat. Kritik dan apresiasi bermunculan sejak aturan tersebut diterbitkan melalui Surat Edaran Nomor B/800.1.12.5/843/2025.
Sejumlah kalangan menilai kebijakan ini layak dikritisi sebagai bentuk dinamika demokrasi. Kritik dianggap sebagai “jamu pahit” yang justru menyehatkan karena menunjukkan bahwa publik masih memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat. Pemerintah pun diharapkan merespons kritik tersebut secara bijak.
Dari sudut pandang hukum, aturan pemakaian sarung batik dinilai tidak bermasalah. Kebijakan ini juga memiliki landasan dari Permendagri Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pakaian Dinas ASN di lingkungan Kemendagri dan pemerintah daerah. Bila terdapat interpretasi berbeda, regulasi tersebut masih dimungkinkan untuk ditinjau ulang.
Respons publik makin beragam ketika isu ini ditarik dalam perspektif budaya, religi, hingga dikaitkan dengan politik identitas. Sebagian masyarakat juga menyoroti sensitivitas sosial Jawa Tengah saat ini. Meski demikian, penilaian tersebut dianggap wajar sebagai bentuk keberagaman sudut pandang.
Dalam konteks budaya, penggunaan sarung batik dikaitkan dengan salah satu poin Tri Sakti Bung Karno, yakni berkepribadian dalam budaya. Sarung batik telah lama menjadi bagian dari tradisi masyarakat Jawa dan memiliki akar kuat dalam nilai-nilai lokal.
Penggunaan sarung batik sekali dalam sepekan dinilai dapat menumbuhkan kembali identitas dan kepribadian budaya bangsa. Meski memiliki nuansa religi yang dekat dengan kultur santri, tradisi mengenakan sarung sebenarnya telah berkembang di berbagai kawasan, termasuk Malaysia dan India, dengan ragam corak dan motif.
Selain itu, sarung juga memuat jejak historis perlawanan terhadap kolonialisme, serupa dengan peci yang kemudian menjadi simbol kebangsaan. Dalam konteks tersebut, batik menjadi pembeda yang merepresentasikan ciri khas Indonesia. UNESCO telah menetapkan batik sebagai warisan budaya takbenda sejak 2009.
Perspektif Tri Sakti lainnya menyentuh soal berdikari dalam bidang ekonomi. Pemaknaan ini kerap dikaitkan dengan konsep ekonomi kerakyatan, yaitu pembangunan yang bertumpu pada kekuatan rakyat atau UMKM.
Data per 10 September 2025 menunjukkan jumlah ASN Pemprov Jawa Tengah mencapai 49.877 orang, dengan 26.270 di antaranya adalah laki-laki. Bila 90 persen ASN laki-laki membeli dua sarung batik seharga Rp300.000 per buah, nilai perputaran uang diperkirakan dapat mencapai Rp14,1 miliar.
Potensi tersebut diyakini dapat menjadi dorongan signifikan bagi industri sarung batik. Apalagi mayoritas pengusaha sarung batik di Jawa Tengah berasal dari sektor UMKM. Jika kebijakan ini diikuti ASN kabupaten/kota, peluang kebangkitan industri sarung batik semakin besar.
Namun satu catatan penting disampaikan: masyarakat, khususnya ASN, diimbau membeli produk lokal, bukan sarung batik impor. Dengan demikian, manfaat ekonomi betul-betul dirasakan oleh UMKM daerah.
Sumber narasi: Wahid Abdulrahman, Alumni Program Doktoral Kajian Asia Tenggara Goethe University Jerman. ( Joko Longkeyang).












