Scroll ke Atas
Berita UtamaEkbis

Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar

1254
×

Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar

Sebarkan artikel ini

EMSATUNEWS.CO.ID, JAKARTA – Pada 2024 utang (periode) SBY sebesar Rp 2.600 triliun kemudian utang periode sekarang Rp 8.300 triliun, atas dasar apa utang bisa naik sedemikian tinggi? Rupanya berdasar defisit APBN kemudian dihitung-hitung menjadi dasar menaikkan anggaran utang satu atau dua persen dengan tanpa evidence.

Hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini dalam pengantarnya pada diskusi publik dengan tema “Dilema Kabinet Prabowo dalam Bingkai Koalisi Besar” yang diadakan secara hybrid melalui zoom meeting dan bertempat di ruang Granada, Universitas Paramadina Jakarta pada Kamis (11/7/2024).

Selain hal tersebut, Didik juga menyatakan ada 3 triliun untuk nikel, 80% devisa habis untuk bayar hutang investasi pabrik nikel di Indonesia.

“Bunga utang menguras anggaran publik, dengan yield tinggi dan dinikmati oleh investor golongan atas. UU APBN diotorisasi oleh ibu Sri Mulyani dan tidak memiliki legitimasi dalam membuat APBN yang baik. Check and balances tidak ada, dimana melupakan syarat dalam melakukan berbagai hal,” paparnya.

Baca Juga :  Di Pekalongan, Polisi Sita Ratusan Botol Miras

Korupsi yang meluas karena politik lanjut Didik, dianggap mahal hingga pandemi Covid dijadikan sebagai alasan. “Pada 2019, perencanaan sebelum ada covid 19, utang SBN dianggarkan Rp. 650 triliun, tapi karena ada pandemi Covid 19 dibuat menjadi Rp 1.541 triliun. Padahal 2/3 pemerintahan tidak bisa berjalan karena wabah. Jadi ‘pesta’ paling besar dari birokrasi justru di era Covid 19. Bahkan presiden paling sial menurut Faisal Basri adalah Jokowi,” katanya.

“Pada masa pemerintahan Pak Jokowi sangat solid, sedangkan Pak Jokowi mewariskan kepada Pak Prabowo pemerintahan di masa yang sulit,” kata Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.

Baca Juga :  Pentingnya Anak 1-12 tahun Diberikan Obat Cacing

Menurutnya hal ini diperparah dengan ekonomi yang sangat sulit. “Ada empat krisis yang akan dihadapi yaitu krisis fiskal, krisis industri, krisis lapangan kerja dan krisis rupiah. Hal ini merupakan hal yang paling krusial tetapi sering diabaikan,” tuturnya.

Data dari Oxford University mencatat mengenai jumlah menteri di tiap negara. Effective governance ada kaitannya dengan jumlah menteri yang dimiliki tiap negara, makin banyaknya menteri makin tidak efektif pemerintahan tersebut. Indonesia menempati 10% terbanyak jumlah menteri dalam pemerintahan.

Ia mengusulkan Menko untuk mengurusi urusan tertentu dan memiliki pekerjaan rutin yang memiliki tupoksi dibawahnya. “Usulan nomenklatur kabinet yang inti adalah urusan manusia; urusan kawasan dan infrastruktur; urusan ekonomi; serta urusan hukum dan politik” papar Wijayanto.