Emsatunews.co.id, Jakarta —Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) pada Rabu (19/11/2025) menjadi arena kritik tajam, khususnya dari Anggota Komisi VI, Rizal Bawazier. Politisi dari Fraksi PKS Daerah Pemilihan X Jawa Tengah ini secara tegas meragukan dan mempertanyakan angka kontribusi pajak Pertamina yang dilaporkan mencapai Rp159 triliun.
Rizal Bawazier menilai angka kontribusi pajak sebesar itu tidak sebanding dengan kinerja laba perusahaan. Menurut perhitungan realistis yang ia sampaikan, kontribusi Pajak Penghasilan (PPh) murni Pertamina seharusnya jauh lebih kecil.“Di sini ada pajak Rp159 triliun. Saya rasa, kalau dengan omset Rp1.127 triliun, itu tidak mungkin ada potensi penerimaan pajak Rp159 triliun,” ujar Rizal dalam RDP tersebut.
Ia menjelaskan melalui simulasi perhitungan. Jika laba kena pajak maksimal mencapai 54% dari omset, Pajak Penghasilan (PPh) yang seharusnya dibayarkan Pertamina hanya berkisar Rp11 triliun. Jika laba hanya 396%, PPh murni bahkan hanya sekitar Rp5 triliun.
Rizal menduga, besarnya angka yang dilaporkan tersebut disebabkan oleh masuknya komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menurutnya, PPN adalah uang yang dipungut dari konsumen dan bukan merupakan laba atau kontribusi murni dari perusahaan.”PPN yang ditagih oleh Pertamina adalah PPN keluaran. Artinya, itu PPN adalah uang konsumen sebenarnya. Jadi, istilahnya nihil untuk PPN. Tidak boleh dimasukkan di sini seakan-akan Pertamina berkontribusi ke penerimaan negara Rp159 triliun. Padahal maksimal itu hanya Rp11 triliun,” tegasnya. Atas dasar itu, Rizal meminta manajemen Pertamina untuk menyajikan data perpajakan yang lebih akuntabel dan berhenti membesar-besarkan kontribusi pajaknya kepada negara.
Selain masalah kontribusi pajak, Anggota DPR dari Dapil X Jawa Tengah ( Kabupaten Pemalang, Kabupaten/Kota Pekalongan, dan Kabupaten Batang ) ini juga menyoroti temuan pemeriksaan pajak yang berpotensi merugikan keuangan negara. Ia mencatat adanya potensi pemeriksaan pajak Pertamina dari tahun 2018 hingga 2022 yang nilainya mencapai Rp6,4 triliun.”Ini uang hilang, Pak, Bu, kalau misalnya pun kita bayar, kita keberatan, terus banding. Belum tentu banding kita menang di Pengadilan Pajak. Tapi kita harus bayar duluan,” katanya.
Jumlah pemeriksaan yang masif ini, ditambah dengan proses banding yang bisa memakan waktu hingga tiga tahun, dianggap dapat membebani arus kas perusahaan. Rizal mendesak manajemen Pertamina untuk segera memperbaiki kontrol di bagian perpajakan guna menghindari kerugian triliunan rupiah di masa depan.
Pada isu operasional dan distribusi, Rizal Bawazier juga mendesak Pertamina untuk memberikan kejelasan terkait masalah layanan di lapangan, khususnya di daerah pemilihannya.
Keluhan utama yang disuarakan adalah adanya penutupan atau kelangkaan layanan Pertashop di beberapa wilayah.“Cuma ada masalah Pertashop, nih, Pak. Pertashop di beberapa tempat dikeluhkan masih tutup di daerah Pekalongan, Pemalang, Batang. Mungkin dari siapa yang bertanggung jawab, alasannya penutupan itu seperti apa, karena merugikan sekali,” ungkapnya, mendesak Pertamina memberikan penjelasan.
Terakhir, ia meminta Pertamina untuk memberikan progres terkini mengenai pembayaran kompensasi oleh pemerintah kepada perusahaan, khususnya yang terkait tahun 2025. Meskipun mengapresiasi konsistensi penyaluran LPG 3 kg, Rizal menegaskan bahwa perbaikan pada masalah pajak dan distribusi di daerah harus menjadi prioritas utama bagi BUMN migas tersebut.( Joko Longkeyang ).












