Dalam kesempatan yang sama Tauhid Ahmad menyoroti Peran Jepang dalam investasi di Indonesia yang sangat strategis meskipun terdapat fluktuasi yang mencerminkan kondisi kedua negara.
“Terdapat hambatan utama terhadap investasi di Indonesia mulai dari upah tenaga kerja, biaya pengadaan, perpajakan, fluktuasi nilai tukar dan prosedur kepabeanan. Diperlukan terobosan baru terkait formulasi upah yang kompetitif, efisiensi pengadaan bahan baku dan proses, penguatan insentif dan kepastian pajak serta penguatan kebijakan de-dolarisasi,” ungkapnya.
Syaban juga menyoroti perdagangan antara Indonesia dan Jepang menunjukkan kecenderungan menurun di tengah rendahnya pertumbuhan ekonomi Jepang.
“Terdapat kendala dalam penguatan perdagangan kedua negara, mulai dari belum optimalnya industri manufaktur Indonesia, hambatan non-tarif kedua negara, hingga karakteristik bisnis di Jepang yang canggih,” terangnya.
Ia juga menyarankan pentingnya untuk memperkuat industri Indonesia dengan menjalin kemitraan yang lebih luas dengan investor Jepang dan dibarengi dengan peningkatan daya saing guna memenuhi hambatan non-tarif yang diberlakukan Jepang.
Pembicara terakhir Venkatachalam Anbumozhi mengungkapkan tren kerjasama ekonomi Jepang-ASEAN yakni: Semakin beragamnya konsumen dan kemajuan teknologi industri, Peningkatan risiko rantai pasokan, Munculnya cita-cita sosial baru seperti hak asasi manusia.
“Rekomendasi Kemitraan Ekonomi ASEAN-Jepang untuk Masa Depan yang Berkelanjutan dan Berketahanan selanjutnya adalah mempromosikan perdagangan dan investasi, harus bertujuan untuk masa depan yang berkelanjutan, mendorong perekonomian digital dan inovatif, serta membangun tenaga kerja profesional untuk masa depan,” pungkasnya.*