Emsatunews.co.id, Pemalang – Video kampanye Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang dilakukan oleh influencer DWM serta tersebar luas di media sosial menuai perhatian serius dari kalangan praktisi hukum. Dr. (c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, seorang Advokat, Konsultan Hukum, dan Mediator, sekaligus Managing Partner Law Office PUTRA PRATAMA & PARTNERS, menegaskan bahwa fenomena ini melampaui batas ekspresi identitas dan berpotensi kuat melanggar hukum di Indonesia.
Menurut Imam Subiyanto, beredarnya video kampanye LGBT di ruang publik Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, bukan sekadar persoalan ekspresi identitas. “Ini sudah masuk ke wilayah potensi pelanggaran hukum yang nyata, baik secara formil maupun materil,” ujarnya. Video yang memuat simbol-simbol LGBT, aksi massa terbuka, ekspresi non-verbal yang menjurus seksual, serta penyebarannya melalui media sosial, dinilainya sebagai perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban umum, meresahkan masyarakat, dan melanggar norma kesusilaan yang berlaku.
Imam Subiyanto merinci beberapa pasal dan undang-undang yang terindikasi dilanggar oleh aktivitas kampanye tersebut:
* Pasal 4 dan Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi: Pasal ini secara tegas melarang pertunjukan atau penyebaran simbol dan tindakan seksual menyimpang.
* Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Ketentuan ini melarang penyebaran konten yang melanggar kesusilaan secara elektronik.
* Pasal 160 dan 156a KUHP: Mengatur larangan penghasutan terhadap hukum dan penodaan terhadap agama, yang dapat relevan jika kampanye tersebut mengandung unsur provokasi terhadap norma agama.
* Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum: Melarang perbuatan menyimpang dan tidak senonoh di ruang publik.
Imam Subiyanto menekankan pentingnya peran negara dalam menghadapi isu ini. “Negara tidak boleh netral saat nilai-nilai keagamaan dan moral publik dirusak secara terang-terangan di depan umum. Negara wajib hadir, menegur, dan bila perlu menindak tegas berdasarkan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penegakan hukum dalam perkara semacam ini tidak boleh dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Justru, fungsi utama hukum pidana adalah menjaga batas antara kebebasan berekspresi dan potensi kekacauan sosial.
Seruan untuk Aparat dan Tokoh Daerah
Menyikapi fenomena ini, Dr. Imam Subiyanto menyerukan langkah konkret kepada berbagai pihak:
* Polres Pemalang diminta untuk segera memproses laporan warga secara profesional.
* Pemerintah Daerah dan Satpol PP didesak untuk menertibkan aktivitas menyimpang yang dilakukan terbuka di ruang publik.
* Tokoh agama dan masyarakat diharapkan mengambil peran aktif dalam menjaga akhlak generasi muda.
* Dinas Pendidikan dan Kominfo perlu melakukan edukasi moral serta kontrol konten digital secara menyeluruh.
Sebagai penutup, Dr. Imam Subiyanto menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum atas pelanggaran yang dilakukan atas nama kampanye LGBT terbuka, yang dinilainya tidak menghormati norma hukum, agama, dan budaya lokal.
“Penegakan hukum harus hadir untuk membela konstitusi moral bangsa, bukan tunduk pada tekanan opini liberal yang tidak sesuai dengan karakter ideologi Pancasila,” pungkasnya. Ia menggarisbawahi, “Bebas berekspresi tidak boleh menginjak martabat publik dan hukum negara. Bila ekspresi menjadi ancaman moral, maka hukum wajib menjadi penegak batasnya.”( Joko Longkeyang).