Emsatunews.co id, Pemalang – Keputusan Bupati Pemalang Anom Widiyantoro memindahkan Sekretaris Daerah (Sekda) Heriyanto ke jabatan Staf Ahli Bidang Pembangunan, Ekonomi, dan Keuangan pada Senin (6/10/2025) menjadi subjek perdebatan serius di kalangan ahli hukum. Langkah yang diklaim sebagai rotasi ini dinilai berpotensi cacat hukum administratif dan melanggar prinsip dasar manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, seorang praktisi hukum dan akademisi, menilai pemindahan Sekda, posisi karier tertinggi di birokrasi daerah, ke jabatan fungsional yang relatif lebih rendah tanpa proses disiplin yang jelas, merupakan demosi terselubung.
Imam Subiyanto menegaskan bahwa kewenangan bupati untuk merotasi Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama (PPTP) tidak bersifat absolut. Kewenangan tersebut terikat pada asas legalitas, kepatutan, dan proporsionalitas, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.”Apabila Sekda yang masih aktif, tiba-tiba dipindahkan ke staf ahli tanpa alasan yang sahih, secara substansi itu bukan ‘rotasi,’ melainkan penurunan jabatan (demosi) yang melanggar asas kepastian hukum dan keadilan,” ujar Imam, Managing Partner Law Office PUTRA PRATAMA & Partners, kepada wartawan, Selasa (7/10/2025).
Ia menambahkan, tindakan seperti itu berisiko dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) jika tujuannya bukan untuk kepentingan organisasi, melainkan sebagai alat pembenaran politik kepala daerah untuk menyingkirkan pejabat.
Kebijakan rotasi Heriyanto merujuk pada Surat BKN Nomor 19199/RAK.02.03/SD/F/2025 tentang rekomendasi hasil uji kompetensi, serta Keputusan Bupati Pemalang Nomor 800.1.3.3/010/TAHUN 2025.
Namun, Imam mengingatkan bahwa surat rekomendasi dari BKN bersifat teknis dan bukan dasar yuridis tunggal untuk demosi.”Rekomendasi BKN itu sifatnya hanya rekomendatif. Bupati tetap harus menindaklanjuti dengan keputusan yang berdasar pada penilaian objektif, bukan sebagai alat pembenaran politik,” tegasnya.
Apabila uji kompetensi digunakan untuk mengeliminasi pejabat yang tidak sejalan dengan kepentingan politik, hal tersebut dinilai melanggar asas netralitas ASN dan dapat digolongkan sebagai maladministrasi struktural atau abuse of power.
Menurut Imam, mutasi ini berpotensi merusak asas meritokrasi ASN yang mensyaratkan setiap penempatan jabatan harus mempertimbangkan kompetensi, prestasi kerja, dan rekam jejak. Jika pejabat yang kompeten dipindahkan tanpa alasan proporsional, hal itu dapat melemahkan moral birokrasi.
Imam menyoroti potensi pelanggaran terhadap tiga Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB): Asas Kecermatan: Keputusan tidak didasarkan pada data dan analisis jabatan yang objektif. Asas Kepastian Hukum: Tidak ada dasar normatif yang kuat untuk demosi. Asas
Tidak Menyalahgunakan Wewenang: Keputusan digunakan untuk tujuan di luar kepentingan organisasi.
Berdasarkan UU 30 Tahun 2014, pejabat yang dirugikan berhak menempuh upaya hukum. “Pejabat yang dirugikan berhak menempuh upaya hukum administratif, baik melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Komisi ASN, maupun Ombudsman RI,” tutup Imam, menekankan pentingnya menegakkan hukum di atas kepentingan politik dalam tata kelola pemerintahan daerah.( Joko Longkeyang ).










