Sepak Terjang Kebijakan Kabinet Indonesia Maju dan Respon Masyarakat Melalui Pendekatan Big Data
EMSATUNEWS.CO.ID, JAKARTA – Riset INDEF dan Continuum Data dilatarbelakangi banyak sekali kejadian dan kebijakan yang muncul pada tahun 2022. Hal tersebut dikemukakan Wahyu Tri Utomo, Data Analyst Continuum INDEF (Instute For Development of Economics and Finance) dalam Diskusi Publik Indef : Kaleidoskop Kabinet Indonesia Maju 2022, Jum’at (23/12/2022).
Wahyu Tri Utomo memaparkan, kelangkaan minyak goreng, ekspor komoditas, kenaikan harga BBM, PPKM, KTT G20, IKN Baru, mudik diperbolehkan lagi dengan beberapa syarat, kenaikan cukai rokok dan masih banyak lagi.
“Begitu banyak kebijakan, begitu banyak respon keluh kesah harga BBM naik, vaksin terkait kebocoran data. Atau yang menuai banyak pujian ihwal KTT G20,” kata Wahyu.
Ia mengemukakan, data analisis bersumber dari Medsos (Media Sosial) Twitter 01 Jan – 12 Des 2022. Medsos saat ini kata Wahyu, jadi plafrom yang sangat mainstream dan jadi top platfrom.Kemudian dilakukan screening media & buzzer free, lalu analisis eskposur perbincangan, analisis sentimen dan analisis topik perbincangan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, data dari eksposur kementerian di analisis lebih dalam untuk topik analisis, lalu dapatkan topik isu. Dari topik-topik itu per kementerian, digabungkan sehingga muncul hasil akhir. “Isu atau topik mana yang paling banyak diperbincangkan, dan mana yang paling sedikit?,” ujarnya.
Dari profil data Kementerian dari perbincangan di Medsos diperoleh data 1.231.162 perbicangan dari 1.012.299 akun Medsos. Tentunya semua melalui evaluasi keyword, free buzzer. Diperoleh data Kementerian paling popular adalah Kemenkominfo (135 ribu) perbincangan, Kemendag (132 ribu) , Kemenkeu (86 ribu), Kemenhan (81 ribu) , Kesehatan (80,8 ribu), Kemenag (79 ribu), Kemenpora (70,7 ribu), Kemendagri (51,5 ribu), Kemen BUMN (48,1) ribu, Kemen ATR (47,9 ribu) perbincangan.
Kenapa Kementerian-Kementerian di atas bisa paling banyak diperbincangkan? Kominfo cukup dikenal karena kasus kebocoran data dan pemblokiran PSE.
“Kebocoran data merupakan ranah Kominfo jadi pasti paling banyak disorot utamanya pemblokiran PSE, tetapi anehnya judi online tidak diblokir,” ujarnya.
Kemendag populer karena terjadinya kelangkaan dan kenaikan minyak goreng sebagai imbas dari kenaikan harga pangan. “Padahal pangan adalah salah satu hal mendasar,” jelas Wahyu.
Kementerian Keuangan popular terkait kebijakan pajak, kenaikan PPN dan cukai rokok dan kebijakan keuangan lainnya.
Kemenhan dikenal dengan isu ketahan nasional dan TNI, Kesehatan karena Covid-19, vaksinasi, booster, gagal ginjal dan lain-lain. Kemenag karena diperbolehkannya lagi haji setelah pandemi, personal menteri agama yang dinilai kurang pas. Kemenpora karena kasus Kanjuruhan yang mendunia.
Kemendagri karena isu ASN dan PPKM. Kemen BUMN terkait perkembangan BUMN yang banyak sekali informasi di medsos. kemen ATR ihwal reformasi agrarian, dan soal sertifikat tanah yang mendapat sorotan sekian tahun baru didapat.
Dari sisi Positivity Rate Top 10 Kementerian, menurut Data Anis dari Indef itu mengungkapkan, Kemenkominfo, Kemendag dan Kemenpora mendapat sentiment negatif lebih banyak daripada Kementerian yang lain. Sentimen negatif masyarakat akibat kekecewaan terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan Kementerian, mulai dari kritik hingga keluh kesah.
Sementara, Kominfo mendapat sentiment negatif karena kasus Pemblokiran PSE dan kebocoran data, Kemendag karena isu kelangkaan minyak goreng, Kemenag karena sikap personal menteri agama yang berimbas pada kementerian, dan Kemenpora karena kasus Kanjuruhan. Dan Kemengterian ATR mendapat positivity rate paling tinggi, ketika masyarakat merasakaan sangat terbantu dalam urusan akta tanah, pelaporan masalah tanah, dan lain-lain.
Wahyu juga mengemukakan, bahwa dari sisi kepopuleran diperoleh dari data perbincangan yakni Prabowo (475 ribu perbincangan), Machfud MD (410 ribu), Erick Thohir (313 ribu), Menag (324 ribu). Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kepopuleran tersebut dominan terkait kebijakan lembaga atau ketokohan?
Ia mengatakan, Menhan terkenal karena isu pertahanan, TNI dan dihubungkan dengan kontestasi 2024. Machfud MD selain isu separatisme radikalisme, agama, dan perundangan, Erick Thohir karena kinerja BUMN, juga kontestasi 2024, Menag terkait person menteri yang dinilai kontroversial. Menkeu Sri Mulyani terkenal karena kenaikan pajak, dan lain-lain. Menkoinvest populer disebabkan kelangkaan minyak goreng, investasi, dan isu lain yang turut dibawahinya.
Menkumham populer terkait isu HAM, KUHP Baru, Mendagri karena isu ASN, politik, pandemi. Menteri Kominfo karena lembaganya disorot, tetapi figure menterinya juga juga disorot.
Dari data perbicangan di Medsos, ternyata kepopuleran figure menteri dua kali lipat lebih banyak dibanding lembaganya.
Nara sumber lain Dr. Wijayanto, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES mengutarakan bahwa Survei CSIS menyebutkan Pemilu 2024 diisi hampir 60% oleh generasi Z dan Gen Milenial. Sosok Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil dan Erick Thohir menjadi popular di generasi itu. Hal itu karena figur-figur tersebut memanfaatkan media sosial Tiktok, dan lain-lain sebagai alat mendongkrak kepopuleran.
“Kenapa politisi repot-repot bermain di Medsos Tiktok dan lain-lain, karena politisi tahu betul, siapa yang memenangkan medsos maka dia kemungkinan besar adalah pemenang pemilu. Ditambah, elit cenderung melakukan manipulasi opini untuk memenangkan suara publik. Bagi yang paham, akan mengerti bahwa pertarungannya sebenarnya memang ada di media sosial,” ungkap Wijayanto.
Pada 4 tahun terakhir LP3ES mengadakan outlook berupa refleksi atas situasi demokrasi di Indonesia yang mengalami kemunduran sejak 2019-2022 dan mungkin 2023. Salah satu outlook LP3ES dilaksanakan dengan diskusi 136 tokoh ilmuwan politik, 20 di antaranya dari luar negeri. “Mereka semuanya sepakat tentang adanya kemunduran demokrasi di Indonesia yang dirangkum dalam satu judul buku Demokrasi tanpa Demos,” katanya.
Demokrasi memang ada, kata Wijayanto, tetapi dalam kebijakan-kebijakan politiknya mengingkari aspirasi publik, mengingkari Demos.
” Sistemnya demokrasi, ada pemilu dan sebagainya, tetapi praktiknya meninggalkan aspirasi warga. Tidak heran jika kebijakan-kebijakan yang popular selama 2022 adalah kebijakan yang justru merugikan publik, misalnya kelangkaan minyak goreng,” tandasnya.
Masih menurut Wijayanto, dalam ilmu politik mengutip pendapat Thomas R Dye (1978) menyebutkan, kebijakan politik adalah “Public Policy is whatever a government choses to do or even not to do”, apapun yang dilakukan pemerintah entah dilakukan ataupun tidak dilakukan, itu adalah kebijakan.
“Jadi apabila minyak goreng langka adalah karena pemerintah memilih untuk membiarkan kelangkaan minyak goreng,” tukasnya.
Riset Drone emprit, KTLV dan LP3ES, misalnya pada kebijakan revisi UU KPK 2019, meski yang kontra kebijakan tersebut tinggi, namun tetap menjadi kebijakan. Ada juga manipulasi opini publik seperti tagar-tagar KPK Taliban, KPK patuh aturan dan sebagainya.
Berdasarkan riset LP3ES, kata Wijayanto, isu itu diciptakan oleh buzzersRp., yang bekerja karena dibayar. Hal lainnya adalah UU Omnibus Law 2020 yang juga resistensinya tinggi, dan MK sudah menyatakan UU tersebut cacat formal dan procedural.
Menyoroti menteri-menteri yang paling popular menjelang tahun politik ternyata tokoh lebih popular daripada Kementeriannya. “Hal itu menunjukkan budaya politik Indonesia secara umum, bahwa politik kita masih berkutat pada tokoh, pada individu,” ungkapnya.
Ketika Anies Baswedan sebagai capres ratingnya naik, ternyata kemudian berpengaruh pada Partai Nasdem yang mendukungnya. Jokowi juga berpengaruh pada PDIP meski naik turun ratingnya. “Juga dulu tokoh SBY mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat,” ucapnya.
Wijayanto memaparkan, figur-figur tersebut adalah yang selalu masuk dalam survei. Sejauh ini yang paling popular adalah Menhan Prabowo, meski trennya menurun namun masih di papan atas. Machfud MD menyusul dan diisukan disiapkan jadi wapres. Juga Erick Thohir, dan SMI. Mereka popular karena kinerjanya bagus atau tidak? Itu yang jadi pertanyaan. tetapi meamng, nama-nama itu secara volume dan perbincangan konsisten ada di top of mind perbincangan publik medsos.
Terkait temuan INDEF, kata Wijayanto, bahwa figure menteri jauh lebih popular ketimbang Kementeriannya. Itu menjadi catatan tersendiri. Mestinya seimbang antara lembaga dan menterinya. Walaupun ditinjau dari masa depan demokrasi dan masa depan pertumbuhan ekonomi suatu negara apalagi di negara maju, maka siapapun pejabatnya, sistemnya atau negaranya akan konsisten prestasinya dalam sisi demokrasi juga ekonomi. Jadi tidak mengandalkan pada tokoh. Pada sisi lain itu merefleksikan bangunan sistem yang masih kurang terbentuk.
Sementara Survei Kompas tentang keyakinan pada pemerintah menurun periode Oktober 2019 – Oktober 2022. Tren menurun ini tidak mengejutkan, karena ternyata yang popular adalah kebijakan-kebijakan yang tidak memuaskan publik. “Seperti kelangkaan minyak goreng atau kebocoran data,” jelasnya.
Survei Kompas lainnya juga tentang Politik dan Keamanan mempunyai respon positif cukup tinggi namun penegakan hukum terbilang rendah, seperti pada kasus FS yang cukup popular, tapi kemudian orang bertanya apakah akan ditangani serius atau tidak. Juga kelangkaan minyak goreng yang kepuasannya hanya 50%.
Masih menurut Wijayanto, survei INDEF perlu dimasukkan analisa sentiment. Tokoh popular itu dari sisi sentimen negatif atau positif. Ditambah etnografi digital, analisa wacana.
“Masalah kita hari ini, ada tokoh-tokoh yang cukup popular, ada mereka yang mendominasi percakapan di medsos atau di survei. tapi pertanyaanya mereka popular dalam hal apa? apakah punya pikiran-pikiran yang progresif untuk mengatasi aneka problem sosial ekonomi politik dan budaya di Indonesia, atau hanya orang-orang yang pandai membuat konten, tapi kurang dalam gagasan. Itulah PR INDEF, LP3ES dan jurnalis, semua kita harus mendorong agar muncul calon pemimpin yang hadir dengan substansi dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan bangsa,” katanya.
Dari sisi politik trend kemunduran demokrasi masih berlangsung secara konsisten dan belum tampak akan ada tanda-tanda rebound dan itu menjadi PR yang serius.*