Artikel

Ketika Negara Memindahkan Pulau Tanpa Undang-Undang

78
×

Ketika Negara Memindahkan Pulau Tanpa Undang-Undang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Dr. Utomo, M.Pd

EMSATUNEWS.CO.ID – Dalam suasana kebatinan masyarakat Aceh yang masih memelihara luka sejarah, keputusan pemerintah pusat yang memindahkan empat pulau yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, dari Aceh ke Sumatera Utara, menorehkan babak baru dari sebuah ironi hukum di negeri ini.

Advertisement

Empat pulau di Provinsi Aceh tersebut yang kini masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara, tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang diteken pada April 2025.

Ironi yang tak lagi halus, tapi mencolok dan memprihatinkan dimana Indonesia sebagai negara hukum tidak lagi menjadikan hukum sebagai rujukan utama.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, berdalih bahwa pemindahan ini adalah hasil pertimbangan teknis yang berdasarkan jarak pulau ke daratan terdekat.
Tetapi persoalannya bukan terletak pada jarak, melainkan pada dasar hukum yang dilangkahinya.

Dasar hukum pembentukan Provinsi Aceh diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara.

Undang-undang adalah produk politik negara yang memiliki kekuatan hukum paling tinggi dalam tatanan peraturan. Maka keputusan Menteri Dalam Negeri, betapapun rasional dan berbasis data geospasial, tidak punya otoritas untuk menabrak batas-batas wilayah yang telah ditentukan melalui produk legislasi.

Ini bukan semata soal batas administratif. Ini soal rasa keadilan. Soal martabat masyarakat yang selama puluhan tahun memperjuangkan keistimewaan daerahnya. Pemindahan pulau tanpa proses legislasi adalah sinyal bahwa hukum bisa dipinggirkan ketika dianggap menghambat efisiensi.

Pertanyaan mendasarnya: Apakah kita masih negara hukum?

Dalam banyak hal, pemerintah tampak kerap menggunakan pendekatan “asal cepat selesai.” Tapi mempercepat proses dengan memotong jalur hukum bukan solusi; itu pemicu konflik. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan bahwa hukum akan melindungi mereka, maka yang tinggal hanya frustrasi dan potensi perlawanan sosial.

Aceh bukan hanya sepotong tanah di peta, ia adalah bagian dari sejarah, identitas, dan perjanjian politik nasional. Jika negara mulai mengutak-atik wilayah Aceh tanpa dialog bermartabat dan tanpa payung hukum yang sah, maka kita sedang membuka kotak Pandora dari ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.

Hukum yang ditekuk bisa tampak efektif di atas kertas, tapi ia melahirkan ketidakadilan yang jauh lebih mahal. Jika negara ingin dihormati, mulailah dari menghormati hukum yang dibuatnya sendiri. (*17).

Dr Utomo, M.Pd, Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Kendal Batang.

Tentang Penulis:
Dr. Utomo, M.Pd adalah akademisi dan penulis, aktif dalam kajian kebijakan pendidikan dan hak masyarakat daerah. Saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor di Universitas Muhammadiyah Kendal Batang.

 

Konten Promosi
Iklan Banner