Nasional

Sekolah Demokrasi: Mencegah Keruntuhan Institusi dan Membangun Kembali Demokrasi

59
×

Sekolah Demokrasi: Mencegah Keruntuhan Institusi dan Membangun Kembali Demokrasi

Sebarkan artikel ini

“Demokrasi dan ekonomi harus diberi ruang yang sama, keduanya merupakan pilar negara untuk menghadirkan kesejahteraan sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945,” kata Handi.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menegaskan bahwa perjalanan pemberantasan korupsi di Indonesia selama dua dekade terakhir mengalami pasang surut yang sangat signifikan.

Advertisement

Dalam sebuah diskusi publik yang digelar di Universitas Paramadina, Wijayanto menyoroti dinamika KPK dari awal pembentukannya pada tahun 2000 hingga saat ini, menekankan perlunya pengembalian independensi dan penguatan lembaga antikorupsi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Menurut Wijayanto, pembentukan KPK pada awal 2000-an menjadi simbol tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan hukum dan menolak budaya korupsi.

Baca Juga :  Fatsoen Politik & Pendidikan: Peran Pendidikan dalam Pengembangan Etika-Politik Generasi Muda

“KPK dilahirkan sebagai representasi struktur politik, sosial, dan ekonomi yang ingin bersih dari korupsi. Ini bukan sekadar institusi, tetapi cermin komitmen bangsa terhadap demokrasi,” ujarnya.

Ia membagi perjalanan pemberantasan korupsi ke dalam tiga periode penting: era Presiden Gus Dur, era Presiden SBY, dan era Presiden Jokowi. Setiap periode menunjukkan karakter yang berbeda, dengan pencapaian dan tantangan tersendiri.

Selama periode 2007 hingga 2019, menurut Wijayanto, pemberantasan korupsi menunjukkan kemajuan yang nyata. Kasus-kasus besar berhasil ditangani, dan KPK mendapat dukungan publik yang luas. Namun, titik balik terjadi pada tahun 2019 ketika revisi UU KPK disahkan.

“Sejak saat itu, independensi KPK melemah. Bukan karena KPK tidak ingin bekerja, tetapi karena struktur politik dan administratif membatasi ruang geraknya,” katanya.

Baca Juga :  Pentingnya Inovasi dan Penguatan Sektor Ekonomi Syariah

Ia menekankan bahwa ketika KPK dilemahkan, bukan hanya lembaganya yang dirugikan, tetapi struktur demokrasi dan tata kelola pemerintahan Indonesia secara keseluruhan. Selain itu,

Wijayanto juga mengkritik fenomena dramatisasi kerugian negara yang sering muncul di publik. Ia menekankan bahwa perhitungan kerugian harus berbasis nilai nyata, bukan potensi atau estimasi yang bombastis.

“Di banyak negara maju, nilai kerugian dihitung secara konkret, berdasarkan kerugian yang terjadi. Di Indonesia, angka-angka kadang terlihat besar karena cara menghitungnya yang tidak konsisten,” ujarnya,

Ia mencontohkan kasus pengadaan kapal ASDP yang nilainya dinilai hanya sebagai besi tua, padahal sebenarnya merupakan investasi strategis.