Hindari Baper Imbas PILKADA , Jaga Rasionalitas dan Kesejukan Demokrasi
Oleh: Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM
Praktisi Hukum dan Konsultan Kebijakan Publik
Emsatunews.co.id, Pemalang – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan bagian tak terpisahkan dari mekanisme demokrasi yang bertujuan untuk memilih pemimpin daerah yang sah dan legitimate melalui proses politik yang transparan. Namun, fenomena yang sering muncul setiap kali musim Pilkada tiba adalah meningkatnya suhu politik yang sayangnya kerap kali diikuti dengan emosi publik yang sulit terkendali. Tidak sedikit anggota masyarakat, bahkan hingga kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), tokoh masyarakat, serta pelaku usaha, yang mudah “baper” atau terbawa perasaan akibat perbedaan pilihan politik maupun narasi kampanye yang berpotensi memecah belah.
Padahal, Pilkada hanyalah sebuah episode singkat dalam perjalanan panjang sebuah bangsa. Sungguh disayangkan apabila perbedaan pilihan politik yang sifatnya sementara ini sampai mengorbankan jalinan hubungan sosial, relasi kerja, maupun solidaritas antarwarga yang telah terbina dengan baik.
1. Politik adalah Ruang Akal Sehat, Bukan Tempat Bermain Emosi
Penting untuk memahami bahwa hak memilih adalah wujud dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, kebebasan ini tidak serta-merta melegitimasi tindakan menyeret pilihan politik ke ranah personal. Menganggap pilihan politik orang lain sebagai bentuk pengkhianatan atau permusuhan adalah pandangan yang keliru dan kontraproduktif. Masyarakat dituntut untuk bersikap dewasa dalam menyikapi dinamika politik. Sebab, setelah Pilkada usai, realitas yang akan dihadapi kembali adalah tantangan untuk hidup berdampingan dalam satu wilayah dan satu lingkungan sosial.
2. Netralitas ASN: Benteng Diri dari Pusaran Politik Praktis
Aparatur Sipil Negara (ASN) sering kali menjadi pihak yang rentan menjadi korban dalam pusaran konflik Pilkada. Mereka dapat mengalami demosi, mutasi, hingga perlakuan diskriminatif hanya karena dianggap tidak memberikan dukungan kepada calon tertentu. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN beserta peraturan turunannya secara tegas mewajibkan ASN untuk bersikap netral. Netralitas ini bukan hanya dalam tindakan nyata, tetapi juga dalam sikap dan ekspresi di ruang publik.
Sebaliknya, para pimpinan daerah juga memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menahan diri agar tidak menjadikan hasil Pilkada sebagai alat untuk melakukan balas dendam politik. Tindakan seperti ini dapat dikategorikan sebagai maladministrasi atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang memiliki konsekuensi hukum dan dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun Ombudsman.
3. Usai Pilkada, Pembangunan Daerah Harus Berjalan Lancar.
Para pemenang dalam kontestasi Pilkada hendaknya menyadari bahwa kemenangan yang mereka raih adalah amanah dari rakyat, bukan pembenaran untuk memusuhi pihak lawan politik beserta para pendukungnya. Dibutuhkan jiwa besar untuk merangkul seluruh elemen masyarakat, termasuk mereka yang memiliki pilihan politik yang berbeda. Pilkada bukanlah ajang untuk memecah belah, melainkan momentum untuk merajut kembali semangat kebersamaan dan kolaborasi demi kemajuan daerah.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu mengakhiri fanatisme buta dan kembali kepada pemikiran yang rasional. Jangan biarkan perbedaan pilihan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) merusak keharmonisan di tingkat Rukun Tetangga (RT). Jangan pula hanya karena perbedaan warna partai, tali silaturahmi menjadi terputus.
4. Peran Strategis Media dan Tokoh Masyarakat: Mendinginkan, Bukan Memanaskan
Media lokal, tokoh agama, tokoh adat, serta para influencer di media sosial memiliki peran yang sangat strategis dalam menyejukkan suasana, bukan justru memperkeruh kompetisi. Pemberitaan yang bersifat provokatif, framing negatif, serta komentar-komentar pedas di media sosial hanya akan memperpanjang polarisasi di tengah masyarakat.
Penutup:
Demokrasi yang sehat memerlukan kedewasaan dari seluruh pihak yang terlibat, termasuk masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Jangan sampai karena “baper” sesaat, kita kehilangan jati diri sebagai bangsa yang santun, berbudaya, dan beradab. Pilkada akan datang dan pergi, namun persaudaraan dan persatuan harus tetap abadi.
Mari hindari baper, senantiasa menjaga akal sehat, dan kembali merajut semangat kebersamaan yang menjadi fondasi kekuatan bangsa.
Editor: Ahmad Joko, S.H.