Berita UtamaDaerahPemalang

Refocusing APBD Tanpa Restu DPRD, Langkah Sepihak Kepala Daerah Berpotensi Cacat Hukum

15189
×

Refocusing APBD Tanpa Restu DPRD, Langkah Sepihak Kepala Daerah Berpotensi Cacat Hukum

Sebarkan artikel ini

Emsatunews.co.id, Pemalang – Praktik refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh sejumlah kepala daerah tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menuai sorotan tajam dari kalangan pakar hukum. Langkah sepihak ini dinilai tidak hanya bertentangan dengan prinsip akuntabilitas publik, tetapi juga berpotensi melanggar regulasi perundang-undangan yang berlaku.

Pandangan keras terhadap praktik ini disampaikan oleh Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, seorang pakar hukum administrasi publik. Ditemui di kantor Pengacara Putra Pratama pada Senin (21/4/2025 ), Imam menegaskan bahwa mengabaikan peran DPRD dalam proses perubahan anggaran, bahkan dalam situasi darurat sekalipun, dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius.

Advertisement

“Kebijakan anggaran, meskipun dalam situasi darurat, tetap harus melibatkan DPRD sebagai representasi rakyat. Tanpa persetujuan legislatif daerah, keputusan anggaran bisa dikategorikan sebagai cacat hukum,” ujar Imam dalam diskusi kebijakan publik.

Lebih lanjut, Imam Subiyanto menjelaskan bahwa tindakan refocusing APBD tanpa melibatkan DPRD berpotensi melanggar ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.

“Undang-undang dengan tegas menyatakan bahwa perubahan APBD harus melalui mekanisme pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif. Melewati mekanisme tersebut berarti mengabaikan prinsip demokrasi lokal yang fundamental,” tegasnya.

Selain potensi pelanggaran regulasi, Imam juga menyoroti risiko hukum lain yang mengintai kepala daerah yang mengambil kebijakan refocusing APBD secara sepihak. Risiko tersebut termasuk kemungkinan masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

“Apabila ditemukan penggunaan anggaran tanpa dasar hukum yang sah, kepala daerah bisa dikenai sanksi administratif hingga pidana, tergantung besarnya dampak keuangan negara,” jelas Imam.

Kebijakan yang tidak melibatkan DPRD ini juga berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit tahunan keuangan daerah. Temuan BPK dapat memberikan catatan negatif terhadap pengelolaan keuangan daerah dan berimplikasi pada opini audit yang diberikan.

Desakan untuk transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah, terutama dalam situasi penyesuaian anggaran, juga datang dari sejumlah aktivis antikorupsi dan akademisi. Mereka menekankan bahwa fungsi pengawasan DPRD bukan sekadar formalitas, melainkan esensi dari kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah.

“Kepala daerah tidak bisa berjalan sendiri. Fungsi pengawasan DPRD bukan sekadar formalitas, tapi jaminan kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah,” pungkas Imam. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya sinergi antara eksekutif dan legislatif dalam setiap kebijakan anggaran, demi menjaga prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.( Joko Longkeyang ).

Konten Promosi
Iklan Banner