Berita UtamaEkbis

Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia

208
×

Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia

Sebarkan artikel ini
Zoom meeting (Screenshoot)

Meski Amerika Serikat mengenakan tarif hingga 30%, Oki menekankan bahwa dampaknya terhadap Indonesia secara langsung tergolong minim. “Ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 1,9% dari total PDB, dan jika produk-produk tertentu seperti elektronik dikecualikan, nilainya hanya berkisar 1,3%. Dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia terdampak paling kecil,” ungkapnya.

Sebagai pembanding, Oki menyoroti bahwa Vietnam memiliki ketergantungan ekspor yang jauh lebih tinggi terhadap AS, yakni sekitar 30% dari GDP-nya, sementara Singapura bahkan memiliki total ekspor yang setara dengan 100% dari GDP mereka. “Indonesia memiliki struktur ekonomi yang lebih tertutup (more closed economy), dengan ekspor hanya 19% dari PDB dan hanya 2% di antaranya ditujukan ke pasar AS. Ini membuat Indonesia lebih resilien terhadap gejolak eksternal,” jelasnya.

Advertisement

Namun demikian, ketidakpastian (uncertainty) global tetap menjadi perhatian utama. Setelah pengumuman kebijakan tarif, pasar Indonesia sempat mengalami koreksi hingga 8%. Meski masih lebih baik dibandingkan Vietnam, Singapura, bahkan pasar AS sendiri, efek dari ketegangan dagang tetap menjadi sentimen negatif yang perlu diwaspadai, terutama karena dampaknya terhadap ekspor ke China.

Oki juga menekankan pentingnya menjaga persepsi internasional terhadap netralitas dan stabilitas Indonesia dalam iklim geopolitik yang penuh ketidakpastian ini. Menurutnya, kunci utama untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional adalah dengan memperdalam pasar keuangan domestik (market deepening), sebagaimana selalu disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.

“Pasar modal Indonesia cukup menjanjikan karena memiliki sektor yang beragam. Meski saat ini masih terdapat saham-saham yang kurang likuid, peningkatan likuiditas adalah prioritas kami. Dengan meningkatkan likuiditas, investor global akan semakin tertarik masuk ke pasar Indonesia,” ujar Oki.

Lebih lanjut, ia menyoroti beberapa langkah strategis untuk mendorong likuiditas, antara lain: penguatan investasi domestik di pasar dalam negeri, penyeimbangan suplai dan permintaan antara instrumen seperti SRBI dan SBN, pengembangan produk keuangan yang lebih luas, serta kolaborasi lintas negara ASEAN untuk mendukung investasi bersama.

“Dengan strategi yang terarah dan kolaboratif antara sektor publik dan swasta, kami optimistis Indonesia akan mampu menghadapi tantangan global dan sekaligus memanfaatkan peluang untuk pertumbuhan pasar modal yang lebih sehat dan berkelanjutan,” tutup Oki.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, MPP, mengingatkan bahwa kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat ini sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor global, nasional, dan kondisi spesifik tiap negara. Dalam kajiannya, Wijayanto menyoroti sejumlah dinamika ekonomi yang perlu diwaspadai oleh pemerintah dan pemangku kepentingan, terutama dalam menghadapi potensi perlambatan ekonomi global.

Salah satu sorotan utama datang dari Amerika Serikat, di mana Elon Musk mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ancaman kebangkrutan fiskal AS. Dalam paparan di hadapan Kongres, Donald Trump bahkan menjanjikan anggaran berimbang (balance budget) guna mencegah kebangkrutan negara tersebut. Saat ini, utang AS tercatat mencapai USD 36 triliun, dengan perkiraan defisit anggaran sebesar USD 1,2 triliun atau sekitar 6,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Strategi Trump untuk mengatasi masalah fiskal tersebut antara lain dengan menugaskan Elon Musk dengan DOGE-nya untuk memangkas belanja sebesar USD 500 miliar per tahun, serta menaikkan pendapatan negara sebesar USD 700 miliar per tahun melalui peningkatan tarif impor.

Sementara di dalam negeri, tantangan yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo tidak kalah serius, seperti ketidakstabilan fiskal, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, deindustrialisasi, dan belum optimalnya penciptaan lapangan kerja. Kondisi ini membuat Indonesia dipandang sebagai negara dengan risiko tinggi. Wijayanto menilai bahwa hingga saat ini pemerintah belum menunjukkan rencana konkret yang realistis dan rasional, serta belum memiliki tim kabinet yang benar-benar solid. Oleh karena itu, diperlukan kalibrasi terhadap berbagai program besar agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan nasional.

Konten Promosi
Iklan Banner