OPINI PUBLIK,
Oleh: Dr. (c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM
( Praktisi Hukum dan Konsultan Tata Kelola Pemerintahan)
Emsatunews.co.id, Pemalang – Di tengah kian tajamnya sorotan masyarakat terhadap kepemimpinan daerah, isu pemakzulan kembali menyeruak ke permukaan. Kali ini, masyarakat menggugat keabsahan moral dan hukum seorang kepala daerah yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran serius terhadap norma hukum dan etika jabatan. Desakan ini bukanlah letupan emosional sesaat, melainkan refleksi dari kekecewaan mendalam atas pengkhianatan terhadap amanat rakyat.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah bukanlah penguasa absolut, melainkan bagian dari sistem pemerintahan yang tunduk pada prinsip hukum, etika, dan akuntabilitas. Dalam Pasal 67 UU tersebut, kewajiban kepala daerah sangat jelas: menjunjung tinggi Pancasila, menaati UUD 1945, serta menjaga integritas dan akuntabilitas pemerintahan. Ketika kewajiban ini dilanggar, maka sanksi pemberhentian—atau dalam bahasa hukum: pemakzulan—bukan lagi sekadar opsi, tetapi konsekuensi logis.
Pemakzulan bukan upaya politisasi jabatan, melainkan bagian dari mekanisme konstitusional yang tertata rapi:
Pasal 79 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 memberikan kewenangan DPRD menyatakan pendapat atas pelanggaran sumpah jabatan, perbuatan tercela, atau pelanggaran hukum oleh kepala daerah.
Jika 2/3 anggota DPRD menyetujui pendapat tersebut dalam rapat paripurna, maka usulan pemberhentian diteruskan ke Mahkamah Agung untuk diuji legalitas dan substansinya.
Jika Mahkamah Agung menyatakan terbukti, Presiden wajib mengeluarkan keputusan pemberhentian tetap terhadap kepala daerah bersangkutan.
Rakyat berhak menuntut pertanggungjawaban. Bila seorang kepala daerah: Menyelewengkan anggaran publik, Memanipulasi perizinan demi kepentingan pribadi, Mengintimidasi aparatur sipil negara (ASN) untuk tujuan politik, Tidak melaporkan kinerjanya secara transparan, maka pemakzulan adalah langkah hukum, bukan balas dendam politik.
Negara kita menjunjung prinsip negara hukum (rechtsstaat). Tidak ada kekuasaan yang kebal hukum. Kepala daerah hanyalah pemegang mandat, bukan pemilik jabatan. Ketika mandat itu disalahgunakan, maka hukum harus berbicara.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-VIII/2010 dengan tegas menyatakan bahwa mekanisme pemberhentian kepala daerah adalah bagian dari perlindungan terhadap prinsip good governance. Ini bukan sekadar instrumen politik, tapi pelindung demokrasi.
Pemakzulan bukan akhir dari segalanya. Tujuan utamanya adalah memulihkan marwah pemerintahan yang bersih dan melayani. Di sinilah peran masyarakat, akademisi, media, dan pegiat hukum menjadi vital dalam mengawal proses ini agar tidak dimandulkan oleh tekanan politik maupun kompromi elitis.
Ketika hukum dikalahkan oleh kekuasaan, maka demokrasi lokal berubah menjadi panggung sandiwara. Saatnya rakyat bersikap. Jangan biarkan pengkhianatan terhadap publik menjadi tradisi yang terus dilanggengkan.**