Oleh: Bambang Sutanto.
Ketua: Kelompok Pelayanan Sosial (KPS) Sedulur Ratan Bersatu
Alamat sekretariat;Jalan DI. Panjaitan No; 178, RT: 02/ RW: 02., Bojongbata, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah
Emsatunews.co.id, Pemalang – Satu setengah tahun berlalu sejak kebijakan pelarangan pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pesalakan, Desa Pegongsoran, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang diberlakukan. Kebijakan ini dinilai sebagai salah satu perwujudan kegagalan pemerintah Kabupaten Pemalang dalam menjamin masyarakatnya mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Fakta empiris menunjukkan penumpukan sampah terjadi di berbagai tempat, seperti pasar kecamatan, pasar desa, dan tempat pembuangan sampah rumah tangga yang tidak terangkut ke lokasi TPA. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang disepakati oleh Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Pemalang, Mansur Hidayat dan Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda), Drs. Moh. Sidik M.Si., pada tanggal 22 Mei 2023, yang memutuskan penutupan area TPA Dusun Pesalakan. Kebijakan ini dianggap tidak berpihak dan tidak melindungi masyarakat di seluruh Kabupaten Pemalang.
Dampak buruk dari kebijakan tersebut mulai terasa. Pencemaran lingkungan terjadi akibat bau busuk dari sampah yang tidak terproses secara benar. Hal ini berpotensi menyebabkan gangguan pernapasan, pusing, dan gangguan fisik lainnya yang secara langsung mempengaruhi kesehatan warga masyarakat. Penyakit-penyakit yang muncul akibat sampah yang tidak dikelola dengan baik, seperti diare, disentri, malaria, kaki gajah (elephantiasis), dan demam berdarah, menjadi ancaman nyata bagi masyarakat.
Kebijakan penutupan TPA Pesalakan dapat diartikan sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena mengabaikan kesehatan masyarakat akibat pencemaran lingkungan dari limbah sampah yang tidak dikelola dengan baik. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan pelanggaran terhadapnya merupakan pelanggaran HAM. Hal ini sesuai dengan Pasal 28H UUD RI Tahun 1945 dan konstitusionalitas HAM atas lingkungan hidup dipertegas dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Persoalan sampah adalah persoalan hajat hidup orang banyak. Penandatanganan surat kesepakatan bersama dengan warga Dusun Pesalakan pada tanggal 22 Mei 2023 menunjukkan tidak adanya keberpihakan Bupati Pemalang terhadap warga masyarakat Kabupaten Pemalang. Bupati Pemalang telah melakukan kebijakan yang diskriminatif dan mengabaikan hak asasi rakyat dengan mengeluarkan keputusan yang tidak berkeadilan. Kebijakan tersebut telah mewujudkan terjadinya pencemaran lingkungan, yang berdampak merugikan bagi kesehatan masyarakat.
Ketika berbicara relokasi pembuangan sampah, ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi pemerintah, seperti mengadakan lahan baru, membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), mendapatkan persetujuan dari warga masyarakat sekitar yang akan dijadikan area TPA, dan persyaratan lainnya. Proses ini membutuhkan waktu lama, dan hingga saat ini belum ada lokasi relokasi untuk mengganti TPA Pesalakan yang disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini menjadi keniscayaan yang harus ditempuh akibat kebijakan yang tidak populis yang dilakukan oleh Bupati Pemalang.
Kebijakan Bupati yang telah menyepakati penutupan TPA Pesalakan adalah salah satu tindakan yang membentuk prilaku kejahatan yang dilakukan masyarakat ataupun instansi/lembaga. Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf d dan e Jo Pasal 40 UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah Jo Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi:
– Pasal 29 ayat (1) huruf d dan e UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah:
Setiap orang dilarang:
d). mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
e). membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan
f). melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir; dan/atau
g). membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.
– Pasal 40 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah:
“Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
– Pasal 41 ayat (1): UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah: “Pengelola sampah yang karena kealpaannya melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
– Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Membentuk prilaku kejahatan masyarakat akan terjadi apabila pemerintah dalam hal terkait pengelolaan sampah tidak memberikan hak dan perlindungan. Seperti yang terjadi saat ini, masyarakat membuang, menimbun, atau membakar sampah di sembarang tempat, yang merupakan bentuk prilaku kejahatan yang sudah diatur dalam ketentuan undang-undang. Prilaku kejahatan tidak melihat siapa yang berbuat, karena apa berbuat, atau tujuan apa berbuat. Tidak ada alasan bagi penegak hukum mentoleransi tindakan yang sudah melawan hukum yang diatur dalam ketentuan undang-undang. Oleh karenanya, dalam surat terbuka ini, kami sampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Pemalang dalam hal ini Bupati Pemalang telah diduga terbukti melakukan pelanggaran HAM kepada penduduk warga masyarakat Kabupaten Pemalang.
Terakhir, sebagai catatan, KPS Sedulur Ratan Bersatu menanggapi somasi yang dilayangkan oleh Sekda Kabupaten Pemalang atas nama Pemerintah Kabupaten Pemalang terkait aksi Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPEL) pada aksi di depan pendopo Kabupaten Pemalang. Aksi tersebut menyatakan tindakan melawan hukum atas aksi membuang sampah di halaman depan kantor Pendopo walaupun akhirnya dicabut kembali Somasi tersebut.
Dengan pernyataan ini, kami mensomasi balik Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang terkait tindakan yang sama sebagaimana somasi kepada AMPEL, dengan skala tindakan yang lebih besar, lebih masif, dan berkelanjutan yang dilakukan hampir lebih 1,5 tahun, yang berdampak merugikan hak dan kepentingan masyarakat di Kabupaten Pemalang.