Scroll ke Atas
Artikel

Jangan Biarkan Ambisi Tanpa Batas Mengosongkan Makna Hidupmu

562
×

Jangan Biarkan Ambisi Tanpa Batas Mengosongkan Makna Hidupmu

Sebarkan artikel ini

Emsatunews.co.id, Pemalang – Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: Untuk apa sebenarnya kita sekolah? Untuk apa kita bekerja? Untuk apa kita mengejar jabatan dan kekuasaan? Apakah semua itu hanya demi prestise, gelar, dan pengakuan dari orang lain? Ataukah ada sesuatu yang lebih bermakna di balik semua itu?

Sejak kecil, kita didorong untuk selalu mengejar sesuatu. Nilai tinggi di sekolah menjadi tolok ukur keberhasilan. Setelah lulus, pekerjaan bergengsi menjadi impian. Tidak berhenti di situ, target berikutnya adalah naik jabatan, memiliki rumah mewah, mobil, hingga mungkin mencapai posisi kekuasaan. Namun, setelah semua itu tercapai, apakah kita benar-benar puas?

Psikolog Abraham Maslow, dalam teori hirarki kebutuhan manusia, menjelaskan bahwa puncak dari segala keinginan manusia adalah aktualisasi diri—suatu tahap di mana seseorang merasa telah mencapai potensi penuh dirinya dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Namun, setelah aktualisasi diri tercapai, banyak orang justru mengalami kehampaan. Mereka mulai mempertanyakan: Apa arti dari semua pencapaian ini?

Fenomena ini sejalan dengan pemikiran filsafat eksistensialisme, yang berkembang di Eropa pada abad ke-19 dan 20. Jean-Paul Sartre, salah satu tokoh utamanya, berpendapat bahwa manusia hidup tanpa tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga harus menciptakan maknanya sendiri. Akibatnya, banyak orang yang terus mengejar validasi tanpa akhir, tanpa benar-benar memahami apakah yang mereka kejar itu memiliki nilai sejati.

Baca Juga :  Hari Pertama Bulan Suci Ramadhan 2024, Kota Pemalang Tampak Sunyi

Sejarah mencatat banyak pemimpin besar yang pada akhirnya menyadari bahwa kejayaan dunia tidaklah abadi. Salah satu contohnya adalah Sultan Sulaiman Al-Qanuni, penguasa terbesar Kekaisaran Ottoman. Ia berhasil menaklukkan banyak wilayah, membangun sistem hukum yang kuat, dan dihormati di seluruh dunia. Namun, di akhir hidupnya, ia sadar bahwa kekuasaan hanyalah titipan yang tidak bisa dibawa mati.

Salah satu wasiat Sultan Sulaiman Al – Qanuni yang terkenal adalah agar ketika jenazahnya diarak, tangannya dibiarkan terbuka—sebagai simbol bahwa bahkan seorang raja besar tetap meninggalkan dunia ini tanpa membawa apa pun.

Tidak semua pemimpin memiliki kesadaran seperti itu. Banyak orang yang mengejar kekuasaan hanya demi prestise dan pengaruh, tanpa menyadari bahwa jabatan bukan sekadar kehormatan, tetapi juga tanggung jawab besar. Kekuasaan yang seharusnya menjadi amanah, justru bisa berubah menjadi beban berat di akhirat jika disalahgunakan.

Lalu, bagaimana agar kita tidak terjebak dalam kesia-siaan? Sebelum memutuskan untuk bersekolah, bekerja, atau menduduki jabatan tertentu, pikirkan terlebih dahulu apa tujuan utama dari semua itu. Apa program yang akan kita jalankan? Apa manfaat yang bisa kita berikan kepada orang lain? Apakah semua itu membawa kita menuju tujuan yang lebih besar, atau hanya sekadar memenuhi ambisi pribadi?

Baca Juga :  Bupati  Menerima Kunjungan Silahturahmi Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Pemalang

Jangan sampai kita bergerak hanya karena menuruti keinginan tanpa batas. Karena pada akhirnya, semua yang kita kejar di dunia bisa menjadi jembatan menuju kebahagiaan sejati, atau justru menjadi beban yang menghantui di akhirat.

Sekarang, tanyakan kembali pada diri sendiri: Apakah kita mengejar posisi hanya demi eksistensi? Ataukah kita menjadikannya alat untuk memberikan manfaat lebih besar? Apakah kita bekerja hanya untuk mendapat pengakuan, atau untuk membangun sesuatu yang lebih berarti?

Jika semua yang kita lakukan hanya berorientasi pada status dan pengakuan, maka kepuasan yang kita dapatkan akan bersifat sementara. Namun, jika kita menjadikan pekerjaan, jabatan, dan usaha kita sebagai jalan menuju sesuatu yang lebih besar, maka hidup akan memiliki makna yang jauh lebih dalam.

Karena sejatinya, segala pencapaian kita di dunia ini bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan menuju kehidupan yang lebih abadi.

Penulis : dr. H. Darmanto, M.Kes, Sp.PD.

Editor : Ahmad Joko Suryo Supeno, S.H.