Emsatunews.co.id, Pemalang – Ucapan Bupati Pemalang yang menyatakan “jangan brisik terhadap kelompok serta kepentingan beberapa golongan menjadi penghambat dalam upaya membawa Pemalang sejajar dengan kabupaten lain” menuai reaksi serius dari berbagai kalangan, terutama praktisi hukum dan akademisi. Mereka menilai bahwa pernyataan ini tidak hanya tidak etis, tetapi juga berpotensi membatasi hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat secara bebas.
Salah satu tanggapan datang dari Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, seorang praktisi hukum yang menyoroti bahwa pernyataan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kritik. “Dalam sistem hukum Indonesia, kebebasan berpendapat dijamin secara tegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Ketika seorang pejabat publik menyampaikan pernyataan yang berkonotasi membatasi atau mendiskreditkan suara kelompok tertentu, maka itu harus dilihat sebagai potensi pelanggaran hak konstitusional,” tegas Imam.
Menurutnya, penggunaan diksi “jangan brisik” oleh seorang kepala daerah memiliki konotasi negatif dan tidak mencerminkan komunikasi pemerintahan yang inklusif. Dalam konteks demokrasi, kritik dan perbedaan pendapat adalah bagian penting dari tata kelola yang sehat. Pernyataan yang menyiratkan pembatasan terhadap kritik dapat memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat serta berpotensi mempersempit ruang demokrasi.
“Pernyataan seperti ini tampak menyasar kelompok tertentu yang dianggap ‘ribut’ atau menghambat. Padahal, kritik yang sehat harus dipandang sebagai bagian dari demokrasi, bukan sebagai ‘gangguan’. Jika pejabat publik menolak mendengar aspirasi warga dengan alasan seperti ini, maka itu menjadi tanda buruk bagi tata kelola pemerintahan daerah,” lanjut Imam.
Imam juga menyoroti bahwa dalam prinsip negara hukum (rechtstaat), pejabat publik harus tunduk pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas partisipasi, non-diskriminasi, dan kepastian hukum. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah daerah harus melibatkan seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. “Dalam konteks tata kelola pemerintahan, kepala daerah tidak hanya bertindak sebagai administrator, tetapi juga sebagai representasi negara di daerah. Oleh karena itu, setiap pernyataan dan tindakan harus mencerminkan etika publik serta penghormatan terhadap prinsip hukum yang berlaku,” jelasnya.
Lebih lanjut, Imam mengingatkan bahwa jika pernyataan ini berujung pada pembatasan terhadap kelompok masyarakat tertentu, maka hal itu bisa menjadi objek pengaduan ke lembaga seperti Ombudsman RI atau Komnas HAM. “Jika ada kebijakan daerah yang muncul dari semangat anti-kritik seperti ini, maka masyarakat memiliki hak untuk menggugat melalui mekanisme hukum, baik melalui judicial review ke Mahkamah Agung, gugatan TUN, maupun pengawasan politik oleh DPRD,” tambahnya.
Dalam pandangannya, pola komunikasi kekuasaan yang cenderung membungkam kritik hanya akan melahirkan kepemimpinan yang otoriter dan anti-transparansi. Imam menilai bahwa seorang kepala daerah harus mampu membangun komunikasi publik yang kolaboratif dan menyejukkan, bukan yang justru menimbulkan resistensi dan konflik horizontal. “Kepala daerah adalah pemimpin bagi semua warga, bukan hanya kelompok yang mendukungnya. Kritik bukan ancaman, melainkan alat koreksi dalam demokrasi. Maka komunikasi publik harus dibangun dengan narasi persatuan dan pelayanan, bukan kekuasaan,” tegasnya.
Dengan adanya sorotan ini, berbagai pihak kini berharap agar Pemkab Pemalang segera memberikan klarifikasi dan merumuskan pendekatan komunikasi yang lebih terbuka dan demokratis. Demi menciptakan ruang partisipasi yang sehat dalam pembangunan daerah, pemerintah daerah perlu membuka diri terhadap kritik serta merangkul seluruh elemen masyarakat tanpa kecuali.( Joko Longkeyang )