ArtikelBerita UtamaDaerahPemalang

Larangan Kades Berpolitik: Keadilan yang Perlu Dikaji Ulang

130
×

Larangan Kades Berpolitik: Keadilan yang Perlu Dikaji Ulang

Sebarkan artikel ini

Emsatunews.co.id, Pemalang — Larangan kepala desa menjadi pengurus partai politik kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dan pemerhati hukum tata negara. Dalam sebuah kajian ilmiah yang disusun oleh Wahyudin, S.H., mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasakti Tegal, larangan tersebut dinilai perlu dikaji ulang dari perspektif keadilan dan kesetaraan dalam sistem hukum Indonesia.

Larangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang secara eksplisit membatasi kepala desa untuk terlibat dalam kepengurusan partai politik. Tujuannya adalah untuk menjaga netralitas pemerintahan desa dan mencegah penyalahgunaan anggaran berbasis kepentingan politik.

Advertisement

Namun, Wahyudin dalam artikelnya mengangkat sisi lain dari kebijakan tersebut. Ia menilai bahwa pembatasan tersebut menimbulkan ketimpangan hak politik, terutama jika dibandingkan dengan jabatan publik lainnya—seperti anggota DPR atau kepala daerah—yang masih diperbolehkan menjadi bagian dari partai politik secara aktif.

“Dari sisi konstitusi, Pasal 28 dan 28D UUD 1945 menjamin setiap warga negara untuk bebas berpartisipasi dalam kehidupan politik tanpa diskriminasi,” tulisnya dalam artikel berjudul Perlindungan Asas Keadilan dan Kesetaraan dalam Larangan Kepala Desa Menjadi Pengurus Partai Politik.

Dengan pendekatan yuridis normatif dan studi literatur dari berbagai jurnal hukum, Wahyudin menyatakan bahwa larangan total terhadap kepala desa tidak sejalan dengan asas proporsionalitas dan prinsip nondiskriminasi yang berlaku dalam negara hukum demokratis.

Ia menyoroti bahwa Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya telah menegaskan pentingnya setiap pembatasan terhadap hak asasi harus memiliki dasar yang sah dan proporsional. Tanpa adanya alternatif seperti mekanisme cuti politik atau pembatasan bersyarat, kebijakan ini berpotensi mencederai prinsip keadilan substantif.

“Dalam demokrasi yang sehat, negara harus menjamin hak politik seluruh warga negara, termasuk kepala desa, selama keterlibatan politiknya tidak mengganggu tugas pemerintahan,” lanjut Wahyudin.

Artikel ini juga mengajukan solusi normatif berupa revisi regulasi atau kebijakan yang lebih fleksibel, seperti memberikan ruang bagi kepala desa untuk terlibat dalam partai politik di luar masa jabatannya, atau melalui sistem cuti politik dengan pengawasan ketat.

Kajian ini menambah dimensi penting dalam wacana reformasi hukum desa dan hak politik lokal. Di tengah dinamika demokrasi, isu keadilan politik di level akar rumput menjadi semakin relevan untuk dibahas secara terbuka dan objektif.( Joko Longkeyang).

Konten Promosi
Iklan Banner