Menurutnya, ada pergeseran relasi di antara TNI, Polri, Kejaksaan Agung, dan aktor-aktor lain, yang membuka ruang negosiasi. “Elit masih memegang kuasa dalam proses pemanasan dan pendinginan publik. Namun, masyarakat sipil tidak boleh mudah terseret dalam konflik elit,” ujarnya.
Karim menekankan bahwa di tengah derasnya arus informasi, masyarakat harus berhati-hati memilah mana informasi yang benar untuk diteruskan dan mana yang sebaiknya dihentikan.
Ia juga mengingatkan untuk menghindari kekerasan dan stigma negatif terhadap gerakan masyarakat sipil, sebab ada pihak tertentu yang justru mendorong kekerasan agar publik memberi label buruk pada civil society.
“Korupsi tidak bisa dibenarkan, begitu juga penjarahan. Yang lebih penting adalah memastikan konsolidasi masyarakat sipil berjalan dengan baik,” tambahnya.
Sementara itu, Nenden S. Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet, menyoroti sisi lain dari keresahan publik, yakni semakin represifnya ruang digital yang seharusnya menjadi wadah kebebasan berekspresi.
Ia menuturkan bahwa masyarakat di lapangan tidak hanya berhadapan dengan aparat yang merespons secara represif, tetapi juga dengan berbagai bentuk pembatasan di dunia digital.
“Kami melihat adanya pemblokiran akun, kriminalisasi aktivis mahasiswa, intimidasi baik online maupun offline, hingga gangguan terhadap akses internet. Fitur-fitur yang biasanya digunakan massa aksi untuk mendokumentasikan situasi lapangan bahkan sempat dihentikan. Hal ini bukan kali pertama terjadi, karena pembatasan internet kerap dilakukan dalam momen demonstrasi,” jelasnya.
Lebih jauh, Nenden juga menyoroti adanya indikasi operasi informasi yang sengaja diarahkan untuk memecah fokus publik. Menurutnya, jurnalisme warga kini menjadi salah satu target represi, dan hal ini menimbulkan kekhawatiran mendalam terhadap keberlangsungan kebebasan berekspresi.
“Kami mempertanyakan, sampai kapan hak asasi warga negara bisa dijamin? Siapa yang bisa memastikan kebebasan kita tidak dibungkam di masa mendatang?” tanyanya.
Untuk itu, SafeNet merekomendasikan agar pemerintah segera menghentikan praktik represi digital, memastikan perlindungan terhadap hak-hak warga, serta menjaga transparansi dengan kebijakan yang sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
“Ruang digital harus dilindungi bersama, agar tidak memperburuk potensi konflik horizontal di masyarakat,” tegas Nenden.*