Scroll ke Atas
Berita UtamaEkbis

Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah: PR Presiden yang Akan Datang

296
×

Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah: PR Presiden yang Akan Datang

Sebarkan artikel ini

“Itulah kekuatan dari Undang-undang Perpajakan sekarang. Kalau saja semua pihak melaksanakan hal hal itu sesuai dengan Undang-undang, maka seharusnya tax ratio Indonesia akan tinggi sekali,” jelasnya.

Dr. Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina melihat banyak negara yang mengalami kegagalan dalam mengelola hutangnya seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador dan Sri Lanka. Padahal beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela mempunyai sumberdaya minyak bumi yang memadai, tetapi hal tersebut tidak berdampak besar sehingga tetap memiliki hutang.

Handi mengambil contoh kasus lain yang tak kalah mengkhawatirkan, “Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta – Bandung semula dianggarkan 7 miliar USD kemudian membengkak signifikan menjadi 11 miliar USD. Jika tidak hati-hati dan segera melunasi hutang, maka khawatir kasus yang terjadi pada Pelabuhan Hambantota di Srilanka akan terjadi juga di Indonesia.”

Menurutnya kunci utama pengelolaan utang patut dicontoh dari Jepang, Korea dan Cina adalah penegakan hukum yang kuat, budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara dan pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.

Baca Juga :  Jokowi: Selamat HUT ke 78 di Mana Pun Berada

“Selama tujuh tahun terakhir, terhitung sejak 2017 hutang Indonesia memiliki kecenderungan naik secara signifikan. Hingga puncaknya, kenaikan tersebut semakin terlihat dengan jelas pada tahun 2020-2023,” tambahnya.

Handi mengingatkan bahwa pada periode Presiden SBY, mewariskan utang negara kepada Jokowi sebesar Rp2.608,7 triliun. Namun kurang dari 10 bulan sebelum masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi, posisi utang Indonesia telah mencapai angka Rp8,041 triliun atau naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Beban utang yang ditanggung oleh APBN secara total yang mencakup pokok dan bunga sekitar Rp 500 triliun tiap tahun dan hal tersebut sangat membebani APBN. Sehingga wajar saja balance budget negara tidak kunjung positif, karena penarikan utang baru sebagian besar digunakan untuk menutupi pembiayaan-pembiayaan utang yang sedang berjalan.

Baca Juga :  Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?

Eisha M Rachbini, Ketua Center Ekonomi Digital dan UKM INDEF melihat perkembangan APBN 2023 sebagai bentuk Realisasi Penerimaan Negara yakni Pajak Penerimaan Pajak Rp. 1.869 T (tumbuh 8% yoy). PPh Non migas sebesar Rp 993 T (53,1% dari total penerimaan pajak), tumbuh 7,9%. Komponen PPh Badan (tumbuh 20%) , PPh 21 (tumbuh 15.5%) PPh Final (tumbuh 25%). PPN/PPnBM sebesar Rp 764 T (40,89% dari total penerimaan pajak, tumbuh 11% yoy), PPN DN (tumbuh 22%) dan PPN Impor tumbuh 5,5 %.

“Penerimaan Bea Cukai Menurun yakni Penerimaan Cukai (-2,23%) seputar masalah rokok ilegal. Bea Masuk (-0,47%) seputar penurunan nilai impor. Bea Keluar (-66,03%) seputar harga sawit rendah, tembaga dan bauksit juga rendah,” kata Eisha.